Oleh: AMR
“Bodoh wartawannya ini”
“Apakah maksudnya ini wartawan menulis begini”
“Tidak jelas juga ini wartawan da tulis”
Komentar semacam itu selalu dilontarkan netijen yang maha benar bila membaca tautan berita yang disebar di media sosial, yang mungkin dianggap tidak berkualitas, tidak ada manfaatnya atau bahkan menjelek-jelekan seseorang atau kelompok tertentu.
Bagi para deterjen itu, wartawannya menulis asal-asalan, baik dari sisi topik maupun kaidah menulis dan berbahasa yang amburadul.
Betulkah demikian? 75 persen anggapan itu salah. Dalam manajemen media massa modern-sepanjang yang saya tahu-baik itu platform cetak, elektronik hingga online, ini adalah pekerjaan team work.
Di jajaran keredaksian, ada pemimpin redaksi di level tertinggi. Di bawah sedikit, ada redaktur pelaksana lalu redaktur/editor/koordinator liputan dan terakhir ada wartawan.
Dalam praktiknya, wartawan inilah yang di lapangan bekerja mencari, meliput, dan menulis berita. Selanjutnya, tulisannya itu dikirimkan ke meja redaksi untuk dilakukan filterisasi oleh redaktur.
Filter itu meliputi memastikan keberimbangan, objektifitas, unsur-unsur wajib sebuah berita terpenuhi hingga soal tata bahasa. Tulisan itu haruslah jadi sebuah kisah yang bisa dipahami mereka yang baca.
Di meja redaktur atau editor, tulisan dari wartawan di lapangan diolah kembali termasuk menetapkan judul yang tepat untuk kemudian diterbitkan atau ditayangkan. Bila tulisannya bikin sakit kepala, potensinya untuk di Crtl+Alt+Del itu ada. Semua tergantung redaktur.
Sementara redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi tidak sampai terlalu jauh mencampuri urusan teknis tapi memastikan jika tulisan tersebut diterbitkan atau ditayangkan tidak akan bermasalah hukum atau mungkin menggangu politik keredaksian, utamanya dari sisi ekonomi.
Discussion about this post