Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Beberapa waktu lalu Denny Indrayana, yang masih menyandang status tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek “payment gateway di Kemenkumham” berhasil membuat riuh politik Indonesia yang memang sangat labil. Denny mengaku bahwa cuitannya tentang bocornya putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dibaca sebanyak lebih dari 4 juta kali.
Denny mengaku senang setelah cuitannya direspons oleh Presiden RI ke-6, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), mantan Ketua MKRI, Mahfud MD, dan mantan Ketua MKRI Jimly Asshiddique.
Bahkan cuitan Denny tersebut dijadikan rujukan oleh pimpinan 8 Fraksi DPR RI menggelar konferensi pers menekan dan mengancam MKRI. Ancaman evaluasi anggaran dan kewenangan melalui revisi UU MKRI disebut akan dilakukan DPR RI jika gugatan terkait perubahan sistem Pemilu dari terbuka menjadi tertutup dikabulkan. Hingga media nasional mengalokasikan waktu panjang menggelar dialog, mengulas, membahas “rumor, gosip, dan kabar burung” Denny.
Meski akhirnya rumor yang dilontarkannya tidak terbukti, Denny hingga saat ini tidak minta maaf atas kegaduhan politik akibat cuitannya. Demikian juga dengan pimpinan 8 Fraksi DPR RI, meski sebelumnya mengancam MKRI, saat ini justru mengapresiasi keputusan MKRI. Para pembuat onar politik tersebut sama sekali tidak merasa bersalah kepada bangsa ini.
SBY tidak mau kalah dengan anak buahnya Denny terkait “cuitan viral”. SBY tancap gas membuat cuitan “mimpi naik kereta api bersama Megawati dan Jokowi”. Keriuhan baru pun dimulai, perhatian media pun kembali beralih.
Para pemuja SBY berusaha meyakinkan publik bahwa cuitan tersebut bukti SBY sebagai negarawan. Sementara yang lain beranggapan, SBY sedang melempar umpan. Jika umpannya dimakan, maka kepentingan politik akan jalan. Sementara jika umpan tidak digubris, narasi “terzalimi” akan dipublis.
Sebagai respon atas keriuhan politik yang tercipta akibat cuitan Denny dan SBY, maka Kongres Rakyat Nasional (Kornas), wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap berikut:
Pertama, bahwa kualitas elit politik nasional sangat buruk akibat rendahnya minat dalam “literasi politik”. Meski dalam setiap penampilan politisi dalam foto dan video latar belakangnya rak buku, maka dipastikan buku-buku tersebut tidak pernah dibaca.
Buku-buku tersebut hanya pajangan agar tercipta kesan “politisi suka baca buku”. Jika literasi politik berjalan, maka politisi Indonesia pasti tidak akan terpengaruh oleh rumor, gosip, dan kabar burung.
Discussion about this post