Langkah ini juga dimaksudkan untuk pendataan anggota menjadi lebih valid sekaligus guna menghindari penyalahgunaan suara saat berlangsungnya Konferensi.
‘Pembunuhan Hak’
Skenario pemaksaan kehendak pun makin kentara terlihat saat Sidang Komisi pembahasan PD-PRT, KEJ dan KPW di Komisi A.
Perdebatan yang menjurus pada keributan terjadi pada saat pembahasan periodesasi kepengurusan di tingkat PWI Kabupaten/Kota.
Dalam draft masa periodesasi dituliskan 5 tahun, sama seperti kepengurusan di Pusat dan Provinsi, namun sebagian besar peserta sidang menolak dan akhirnya tetap menyepakati 3 tahun.
Pasal yang paling mengejutkan dan terkesan diciptakan untuk ‘pembunuhan hak’ anggota sebagai pengurus tergambar di draft pasal 29 ayat 1 PD.
Di pasal ini tertulis; Anggota yang akan atau masih menduduki jabatan di Lembaga-lembaga negara tertentu seperti, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Komisi Informasi (KI), Komnas HAM, Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum (DKPP), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lembaga Sensor Film (LSF) dan staf/tenaga ahli di kementerian/lembaga pemerintahan harus non aktif dari pengurus.
Pasal diatas sangat kontradiktif dengan pasal 16 ayat 1 KPW; Wartawan yang akan menduduki jabatan atau telah selesai menduduki jabatan sebagai ketua, sekretaris, anggota atau staf di lembaga-lembaga negara seperti, namun tidak terbatas pada, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Komisi Informasi (KI), Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lembaga Sensor Film (LSF), dapat tetap menjadi pengurus PWI pada semua tingkatan karena pekerjaan-pekerjaan tersebut selain untuk melayani kepentingan publik juga tidak mengandung benturan kepentingan dengan tugas-tugas atau prinsip kewartawanan.
Jika dianalisis, pembalikan makna pasal yang bertolakbelakang ini jika diibaratkan dari positif menjadi negatif, dari jantan menjadi betina, dari baik menjadi buruk hingga perpindahan pasal dari KPW ke PD-PRT mengindikasikan ada upaya ‘pembunuhan hak’ anggota untuk menjadi pengurus.
Apalagi dalam regulasi aturan pers dan lembaga terkait tidak mencantumkan adanya pelarangan kecuali KPK, KPU, Bawaslu dan DKPP yang memang sudah diatur di lembaga tersebut.
Setelah terjadi perdebatan panjang, akhirnya pasal tersebut dianulir dan diperbaiki dengan dalih kesalahan dalam penginputan data.
Begitulah perjalanan Kongres PWI di Bandung, penuh dinamika dan intrik. Strategi memenangkan calon pemimpin PWI untuk 5 tahun kedepan pun dilakukan dengan berbagai cara. Perlu perubahan, juga penguatan dan semangat membangun organisasi profesi kewartawanan yang kuat adalah tujuan kita bersama.
Banyak hal-hal yang perlu disempurnakan, dan kita percayakan saja kepada mereka yang terpilih menjadi pengurus. Rumah Besar PWI kini dinakhodai Hendry Bangun bersama Sasongko Tedjo selaku punggawa etik bagi anggota.
Selamat berkarya Bang Hendry dan Mas Sasongko, terima kasih Bang Atal dan Bang Ilham. Karyamu tetap kami kenang. Itu saja.(***)
Penulis adalah Ketua DKP PWI Sumut
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post