Penguatan Karakter dan Profesionalisme Guru Jadi Kunci
Revitalisasi fisik sekolah dan digitalisasi pembelajaran memang langkah besar, tetapi pemerintah menyadari keduanya tidak cukup untuk menjawab kompleksitas pendidikan abad ke-21. Salah satu fokus yang kini dikedepankan adalah penguatan pendidikan karakter, terutama dalam menghadapi dominasi generasi Z dan Alpha yang menduduki bangku sekolah dasar hingga menengah.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) meluncurkan dua program unggulan yang dirancang untuk membiasakan nilai-nilai positif sejak dini, yaitu 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat dan Pagi Ceria.
Tujuh kebiasaan tersebut meliputi bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat bergizi, gemar belajar, aktif bermasyarakat, dan tidur cukup. Sedangkan program Pagi Ceria menekankan rutinitas sebelum belajar, mulai dari senam, menyanyikan lagu Indonesia Raya, hingga doa bersama.
“Karakter tidak hanya diajarkan, tetapi harus dibiasakan. Sekolah harus menjadi ruang pembentukan pribadi yang sehat, kreatif, dan tangguh,” tegas Menteri Abdul Mu’ti dalam konferensi pers, Juli 2025.
Selain membangun kebiasaan positif, peran guru juga diperkuat melalui pelatihan konseling dasar. Hingga pertengahan 2025, Kemendikdasmen mencatat lebih dari 120 ribu guru non-BK telah mengikuti pelatihan konseling untuk memahami kebutuhan akademik maupun sosial siswa.
Langkah ini diambil karena banyak masalah siswa, mulai dari tekanan belajar hingga persoalan psikososial, tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan pengajaran semata. Meski demikian, tantangan besar masih menghadang, terutama dalam ketimpangan distribusi guru.
Secara nasional, rasio guru-murid memang terlihat memadai, tetapi data Kemendikdasmen menunjukkan 22 persen daerah masih mengalami kekurangan guru untuk mata pelajaran inti seperti Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris. Kondisi ini paling terasa di wilayah 3T, di mana satu guru kerap merangkap mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah menerbitkan Permendikdasmen No. 1 Tahun 2025, yang memberi ruang bagi guru ASN untuk mengajar di sekolah swasta maupun sekolah yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Skema ini diharapkan bisa menutup kekosongan guru di sekolah-sekolah kecil tanpa harus menambah beban anggaran negara.
Selain distribusi, beban administrasi guru juga menjadi sorotan. Selama ini banyak guru mengeluhkan waktu mereka habis untuk mengisi dokumen administratif ketimbang mengajar. Pemerintah merespons dengan menyederhanakan sistem penilaian kinerja—yang kini dilakukan oleh kepala sekolah dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD), bukan oleh guru sendiri.
“Kami ingin guru kembali ke fitrahnya: mendidik. Administrasi jangan sampai menggerus kualitas interaksi guru dengan siswa,” ujar Mu’ti.
Untuk menopang profesionalisme guru dalam jangka panjang, pemerintah juga menyiapkan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam skala besar, yang akan menyasar 806 ribu guru di seluruh Indonesia. Di sisi lain, untuk guru yang belum memiliki kualifikasi D4 atau S1, disediakan jalur Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) dengan target 12 ribu peserta.
Kebijakan ini sekaligus menjadi upaya untuk memastikan seluruh guru memenuhi standar minimal kualifikasi akademik sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Guru dan Dosen.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa penguatan kapasitas guru memang mendesak.
Studi Balitbangdiklat Kemdikbudristek 2024 menemukan bahwa hanya 58 persen guru SMP yang merasa mampu mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran, dan hanya 65 persen guru SMA yang rutin melakukan asesmen berbasis kompetensi.
Angka ini menunjukkan adanya jurang keterampilan yang harus segera ditutup jika Indonesia ingin bersaing dengan negara-negara tetangga yang lebih dahulu melakukan transformasi guru.
Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang
Revitalisasi sekolah dipandang bukan sekadar proyek pembangunan fisik, melainkan investasi jangka panjang yang dampaknya dirancang terasa hingga dua dekade ke depan. Dengan anggaran sebesar Rp 17,1 triliun pada 2025, pemerintah menargetkan tidak hanya membangun sekolah yang layak, tetapi juga membentuk fondasi kuat bagi peningkatan mutu pendidikan nasional.
Data Kemendikdasmen (2025) mencatat, setiap Rp1 triliun investasi dalam revitalisasi sekolah mampu menciptakan hingga 20 ribu lapangan kerja baru, mulai dari sektor konstruksi, penyedia material bangunan, hingga pelaku UMKM di sekitar sekolah. Dengan begitu, revitalisasi sekolah tidak hanya berfungsi sebagai stimulus pendidikan, tetapi juga sebagai motor penggerak ekonomi lokal.
Di sejumlah daerah, efek domino program ini mulai terasa. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, pembangunan ulang 27 sekolah dasar memicu tumbuhnya usaha kecil penyedia material bangunan. Sementara di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, ratusan pekerja lokal direkrut untuk mempercepat renovasi sekolah menengah, yang sekaligus mengurangi angka pengangguran terbuka daerah itu sebesar 1,3 persen pada triwulan pertama 2025 (BPS Sultra, 2025).
Lebih jauh, revitalisasi juga menciptakan ekosistem sosial baru. Partisipasi masyarakat dalam Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP) memperkuat kembali budaya gotong royong yang sempat pudar. Orang tua murid, tokoh lokal, hingga pelaku usaha ikut dilibatkan, menciptakan rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas pendidikan di lingkungannya.
Namun, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta mengingatkan agar program ini tidak berhenti pada dimensi ekonomi.
“Investasi pendidikan harus dihitung bukan hanya dari jumlah sekolah yang dibangun, tetapi dari kualitas lulusan yang dihasilkan. Tanpa penguatan kurikulum, peningkatan kompetensi guru, dan pengawasan ketat terhadap penggunaan dana, revitalisasi bisa kehilangan arah,” ujarnya.
Dua Sayap, Satu Tujuan
Revitalisasi dan digitalisasi pendidikan adalah dua sayap yang harus bergerak seirama. Revitalisasi menyediakan ruang fisik yang layak, sementara digitalisasi membuka akses luas ke sumber belajar modern. Keduanya bersatu dalam satu tujuan: mencetak generasi emas Indonesia yang berkarakter, cerdas, dan siap bersaing di tingkat global.
Seperti ditegaskan Menteri Mu’ti, pendidikan di Indonesia bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan transformasi karakter dan peradaban. Dari ruang kelas yang direnovasi hingga smart classroom yang dilengkapi teknologi, masa depan bangsa sedang dibentuk—bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk dekade mendatang.(***)
Penulis adalah Pengamat Ekonomi dan Pendidikan Banyumas Raya
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post