<strong>Oleh: Rosyunita, S.Si., M.Si</strong> Penanganan pandemi yang sejak awal tidak menyentuh akar permasalahan menyebabkan dampak lain pada berbagai sektor kehidupan termasuk pendidikan. Kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen menuai polemik akibat munculnya klaster dari PTM sekolah. Sebanyak 90 sekolah di Jakarta tutup pembelajaran tatap muka 100 persen setelah ditemukan kasus Covid-19 pada siswa, guru, dan tenaga kependidikan (<a href="http://detik.com">detik.com</a>, 26/1/2022). Hal ini memicu beberapa kalangan untuk mengevaluasi pembelajaran tatap muka. Sejak awal, beberapa pihak belum merekomendasikan untuk dilakukan PTM 100 persen. Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menilai, ada yang salah dengan aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Menurutnya, kesalahan itu terkait aturan PTM di masa pandemi Covid-19 (<a href="http://Kompas.com">Kompas.com</a>,11/1/2022). Namun, menurut Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, situasi sekarang kondusif untuk dilakukan PTM. Sementara, Sekjen Kemendikbud Ristek Suharti dalam “Webinar Penyesuaian Kebijakan Pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas Tahun 2022 menyatakan, pandemi ini memberikan dampak negatif bagi pendidikan dengan tingginya angka putus sekolah pada jenjang SD dan mahasiswa tidak aktif kuliah. Bahkan, memungkinkan terjadinya Learning loss (mengacu pada hilangnya pengetahuan dan keterampilan baik secara umum atau spesifik, atau terjadinya kemunduran proses akademik karena suatu kondisi tertentu). <strong>Perlu Evaluasi</strong> Sebanyak lima organisasi profesi pada bidang medis sebelumnya meminta agar PTM 100 persen terbatas bagi anak 11 tahun perlu dilakukan evaluasi, seiring meningkatnya kasus penularan varian Omicron. Kelima organisasi tersebut yakni Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Indonesia Intensif Indonesia (PERDATIN), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular (PERKI), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), telah melakukan penyuratan kepada kementerian yang menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri tentang proses PTM 100 persen. Begitupun dengan Ketua DPR, Puan Maharani serta beberapa pihak meminta untuk dilakukan evaluasi proses ini. Kekhawatiran terhadap proses PTM berkaitan dengan capaian vaksinasi pada tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, juga sarana dan prasarana pendukung protokol kesehatan di sekolah. Kita telah ketahui bersama bahwa masih banyak sekolah di negeri ini dengan sarana dan prasarana pendukung pendidikan belum memadai. <blockquote class="twitter-tweet"> <p dir="ltr" lang="in">AJP Bantu Dua Atlet Muay Thai Sultra yang akan Berlaga di Bali <a href="https://t.co/i6Rdkg6w56">https://t.co/i6Rdkg6w56</a></p> — Penasultra.id (@penasultra_id) <a href="https://twitter.com/penasultra_id/status/1488321927689166855?ref_src=twsrc%5Etfw">February 1, 2022</a></blockquote> <script async src="https://platform.twitter.com/widgets.js" charset="utf-8"></script> Menurut laporan capaian vaksinasi, tercatat sebanyak 81 persen dari 4,5 juta atau sebanyak 3.606 juta tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sudah menerima vaksinasi. Bahkan, 72 persen atau 3,26 juta di antaranya sudah menerima vaksinasi dosis 2. Namun, capaian vaksinasi pada anak belum sesuai target. Masih banyak anak yang belum melakukan vaksinasi. Adapun sarana dan prasarana dengan protokol kesehatan, masih ditemukan beberapa sekolah yang belum memiliki fasilitas yang memadai. Hal yang sama juga disampaikan oleh ketua DPR RI Puan Maharani bahwa tidak semua sekolah memiliki fasilitas serta sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang PTM 100 persen (<a href="http://Kompas.com">Kompas.com</a>, 3/1/2022). Persiapan fasilitas prokes menjadi sangat krusial ditengah ancaman varian Omicron. Kasus pelanggaran disiplin prokes pada masyarakat satuan pendidikan masih banyak ditemukan seperti tidak menggunakan masker, tidak rutin mencuci tangan, adanya kerumunan orang tua, juga kantin yang beroperasi. <strong>Langkah Terukur dan Konkrit</strong> Beberapa langkah terukur yang harusnya dilakukan negara dalam menjalankan PTM 100 persen untuk mencegah munculnya klaster baru Covid-19 diantaranya : Pertama, sosialisasi dan edukasi seluruh pihak yang terlibat dalam satuan pendidikan, agar semua pihak terkait memahami dengan benar tentang PTM yang sesuai dengan model pendidikan masa pandemi. Jika tidak dilakukan secara menyeluruh dikhawatirkan terjadi misinformasi. Kedua, validitas data zona pemetaan wilayah merah, kuning, dan hijau dari kasus penularan Covid-19. Pemetaan data dan akurasi ini penting agar keputusan menyelenggarakan PTM terkonfirmasi dengan baik. Jika data amburadul, maka daerah akan kesulitan menetapkan mana daerah aman dari penularan dan yang tinggi. Ketiga, meningkatkan 3T di sekolah. Seluruh warga sekolah harus dilakukan testing dan tracing untuk memudahkan penanganan jika ditemukan penularan Covid-19 di sekolah. Keempat, memfasilitasi seluruh satuan pendidikan dengan perangkat protokol kesehatan. Fasilitas yang meliputi sarana dan prasarana, serta tambahan SDM yang dibutuhkan dalam menerapkan protokol kesehatan. Negara harus menjamin setiap sekolah memiliki sarana dan prasarana memadai agar panduan prokes bukan sebatas teori tetapi minim dalam implementasi di lapangan. Kelima, negara menetapkan skala prioritas anggaran. Jika pemerintah serius dalam melakukan PTM untuk mencegah anak-anak mengalami penurunan belajar yang drastis (loss learning), seyogianya negara mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan PTM secara maksimal, bukan dipangkas. Apalagi dialihkan untuk membangun ibukota Negara (IKN) yang baru. Keenam, melakukan pengawasan dan pengontrolan secara ketat. Jika ada aduan atau kendala, negara harus bertindak responsif dan bergerak cepat. Komunikasi satuan pendidikan, dinas setempat, pimpinan daerah dan pusat harus rutin dilakukan. Verifikasi dan evaluasi secara berkala pada satuan pendidikan terkait PTM wajib dilakukan. Inilah bentuk tanggung jawab sebuah negara yang seharusnya dilaksanakan pada masa pandemi, agar proses pendidikan tetap berjalan. Islam telah menjadikan penjagaan keselamatan, kesehatan dan keberlangsungan pendidikan sebagai kewajiban negara selaku pengurus rakyat (raa'in). Rasulallah SAW bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap pengurusan rakyatnya (HR Al-Bukhari). Negara Islam akan menerapkan syariah secara kaffah pada seluruh aspek kehidupan. Ketika terjadi wabah maka negara memutus rantai wabah dengan menerapkan lockdown syari sehingga pendidikan tetap berjalan. Tidak ada perbedaan apakah dilakukan dengan daring atau tatap muka. Negara akan menimbang dengan matang sesuai kebutuhan. Jika negara memutuskan pembelajaran secara tatap muka, maka negara akan menjalankan langkah terukur sebagaimana keenam poin yang telah disebutkan. Disamping hal tersebut di atas, negara juga menyiapkan penjagaan lingkungan sosial, masyarakat, dan keluarga. Sebab, bisa jadi penularan terjadi ketika peserta didik berada di lingkungan luar sekolah. Semua langkah tersebut akan mendukung keberhasilan pendidikan di masa pandemi. Semua dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam Islam yaitu membentuk kepribadian Islam, menguasai IPTEK, handal dalam pemikiran Islam, menguasai ilmu-ilmu terapan IPTEK, hingga memiliki keterampilan tepat guna dan berdaya guna. Negara juga memastikan tersedianya anggaran yang cukup bagi kebutuhan pendidikan. Baik dilakukan dengan daring maupun tatap muka. Anggaran diambil dari Baitul Mal pos kepemilikan umum. Walhasil, pendidikan akan lebih baik jika negara menerapkan Islam secara kaffah. Pendidikan akan terus produktif menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul untuk peradaban mulia. Wallahu a’alam.(<strong>***)</strong> <strong>Penulis: Praktisi Pendidikan Kendari</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://www.youtube.com/watch?v=oPZj98jH0KQ
Discussion about this post