Dialog yang coba dilakukan sekitar 1 jam menemui jalan buntu. Akhirnya pihak perusahan memilih untuk pulang. Hanya saja, saat tim perusahaan akan pulang, aksi anarkis mulai dilakukan. Karyawan dilempari tanah dan lumpur.
“Pada tanggal 10 Agustus, kami datang ke lokasi. Massa sekitar 50 orang, membawa senjata tajam, parang tombak, kayu bahkan ada juga yang membawa bensin. Karena tidak ada jalan keluar, kami memilih pulang. Saat itulah aksi anarkis mulai dilakukan,” ucapnya.
Tidak hanya itu, kata Marlion massa juga mulai bergerak kearah alat berat yang sedang beroperasi. Mereka mulai melempari alat berat dengan batu. Dua alat berat pecah kaca dan seorang operator terkena lemparan batu, kepalanya sobek dan harus mendapatkan perawatan di klinik perusahaan.
Bukan hanya alat berat, bus yang ditumpangi karyawan yang hendak meninggalkan lokasi, juga dipecahkan kacanya. Bahkan, seorang karyawan nyaris terkena parang dan tangannya terluka terkena serpihan kaca yang pecah.
“Kami ini sebenarnya korban. Sejak awal, kami sudah diintimidasi dengan sajam yang dibawa oleh mereka. Karyawan diancam, alat berat dirusak, operator terkena lemparan batu. Jadi tidak benar kalau kami yang melakukan intimidasi dan kekerasan. Justru sebaliknya. Kami adalah korban,” beber Marlion.
Sementara itu, GM Eksternal PT GKP Bambang Murtiyoso mengungkapkan, selama ini pihaknya terus melakukan pendekatan persuasif dan humanis kepada masyarakat. PT GKP selalu mengedepankan dialog dan musyawarah, meskipun lahan yang dilakukan pembersihan merupakan hak perusahaan, karena berada di dalam wilayah IPPKH dan juga sudah dilakukan ganti untung tanam tumbuh.
Kemudian juga telah dilakukan dialog dan diskusi dengan Lamiri dan istri yang mengklaim lahan tersebut dengan massa lain yang saat itu melakukan protes.
“Jadi tidak mungkin kami melakukan pembersihan atau land clearing, kalau belum dilakukan ganti untung tanam tumbuh,” kata Bambang menegaskan.
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post