Ia secara blak-blakan membuka jumlah gaji yang diterima anggota DPR, yaitu gaji pokok (Rp16 juta), tunjangan bulanan (Rp59 juta), dana aspirasi sebanyak 5 kali dalam setahun (Rp450 juta), serta dana kunjungan dapil (Rp140 juta setahun). Masih kurang apa lagi?
Wajar jika berbagai pihak mengkritik DPR karena anggaran sebanyak itu benar-benar melukai hati rakyat. Pasalnya, gaji dan fasilitas begitu tinggi, tetapi kinerja tidak sesuai dengan harapan. Para wakil rakyat itu mestinya malu kepada rakyat yang mereka wakili. Sebab, yang mereka nikmati saat ini sejatinya berasal dari pajak rakyat. Jangan seperti kacang yang lupa kulitnya.
Hendaknya, DPR benar-benar mewakili suara rakyat, tetapi fakta yang terjadi justru sebaliknya. Ketika rakyat menolak UU Cipta Kerja, mereka malah mengesahkannya. Ketika rakyat ingin harga-harga bahan pokok turun, mereka tidak sepenuh hati menyuarakannya pada penguasa. Kalaupun ada yang memihak kepentingan rakyat, jumlahnya minoritas.
Pantaslah bila banyak sindiran dan kritik tajam untuk para anggota dewan terhormat. Mereka seyogianya, bisa sedikit bersimpati pada masyarakat. Mengingat kondisi ekonomi yang kian sulit. Harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, sedang pendapatan semakin merosot.
Jika dicermati, hidup sederhana bukanlah ciri khas dalam sistem kapitalis sekuler. Karena sistem ini memang mengajarkan gaya hidup hedonis dan konsumtif. Tidak terkecuali para pejabat negara. Mereka merasa harus mendapat kemudahan sarana dan prasarana selama menjabat amanah sebagai wakil rakyat.
Sangat berbanding terbalik dengan gaya dan pola hidup para pemimpin dan pejabat pada masa sistem Islam. Dimana, mereka lebih banyak hidup sederhana dan hemat. Apalagi jika kita menyebut sosok manusia mulia yaitu Rasulullah SAW. Kehidupan beliau dan para sahabatnya sungguh jauh dari segala kemewahan.
Dalam aturan Islam, rakyat adalah pihak yang wajib dilayani. Sedangkan, pemimpin dan pejabat adalah pihak yang melayani. Hal ini berkebalikan di sistem demokrasi kapitalistik, malah rakyat yang melayani penguasa dan pejabatnya. Pejabat hanya bisa membuat susah rakyat dengan kebijakan dan UU yang dihasilkan, juga hanya memihak kepentingan pemodal. Sehingga, sangat sulit menemukan sosok penguasa yang betul-betul peduli dan berempati pada rakyatnya.
Discussion about this post