Seiring eskalasi dan reaksi atas konflik yang terus meningkat pada 2017, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menlu Retno Marsudi untuk melakukan upaya diplomasi ke Myanmar guna menemui Konsuler Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Indonesia menawarkan formula 4+1 sebagai solusi atas penyelesaian konflik Rohingya. Formula 4+1 terdiri dari: pengembalian stabilitas dan keamanan dan upaya menahan diri secara maksimal serta tidak menggunakan tindak kekerasan. Berikutnya adalah perlindungan terhadap semua orang tanpa memandang suku dan agama; pembukaan akses terhadap bantuan kemanusiaan; dan pelaksanaan amanat Komisi Penasehat untuk Rakhine State dibawah pimpinan Koffi Annan.
Khusus untuk menindaklanjuti pertemuan Menlu Retno Marsudi dengan Konsuler Negara Myanmar Aung San Suu Kyi dan mewujudkan upaya pemberian bantuan kemanusiaan yang lebih terkoordinasi, Pemerintah Indonesia memfasilitasi pembentukan International Humanitarian Assistance (IHA) atau Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) yang melibatkan 11 Ormas Islam dan organsiasi filantropi berbasis Islam.
Ormas dan organisasi dimaksud adalah Lembaga Penanggulangan dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Dompet Dhuafa, dan Pos Keadilan Peduli Umat Human Initiative (PKPU Human Initiative).
Selain itu juga Rumah Zakat, Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS) Wahdah, Daarut Tauhid, Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (LAZIS DDII), Lembaga Amil Zakat Nasional Lembaga Manajemen Infaq (LAZNAS LMI) dan Social Trust Fund (STF) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada 2018, disela-sela kunjungan kerjanya ke kawasan Asia Selatan, Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo menyempatkan diri untuk mengunjungi pengungsian Rohingya di Cox Bazar, Bangladesh. Dalam kunjungan tersebut Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk memberikan bantuan kemanusiaan secara berkelanjutan. Presiden dalam pernyataannya bahkan menggunakan terminologi “Saudara Muslim” untuk menyebut para pengungsi Rohingya.
Hal tersebut menunjukan bahwa pemerintah ingin menampilkan wajah Indonesia sebagai negara “middle power” dengan berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang peduli terhadap permasalahan di dunia Islam. Indonesia juga aktif memberikan dukungan diplomasi terhadap konflik dan krisis kemanusiaan Rohingya melalui OKI.
Pada 2015 Indonesia berhasil menggalang dana US$ 50 juta dari negara-negara Muslim yang tergabung dalam OKI. Dana tersebut kemudian digunakan untuk bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya. Kemudian pada 2017, dalam pertemuan tingkat Menteri OKI, Indonesia meminta negara-negara OKI untuk memperhatikan nasib etnis minoritas Muslim Rohingya dan mendukung penyelesaian konflik menggunakan pendekatan konstrukstif (constructive engagement).
Pada 2018 Indonesia membawa isu Rohingya kedalam Konferensi Tingkat Tinggi OKI ke-45 yang menghasilkan Resolusi Nomor 59/4-POL on the Establishment of An OIC ad Hoc Ministerial Committee on Accountability for Human Rights Violations against the Rohingyas. Dengan adanya resolusi tersebut, negara-negara Muslim diharapkan dapat solid bekerjasama dalam mencari bukti terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menimpa etnis minoritas Muslim Rohingya.
Berdasarkan paparan di atas, dukungan Indonesia terhadap penyelesaian konflik dan krisis kemanusiaan Rohingya dipengaruhi oleh faktor Islam. Bersandar pada pendekatan konstruktivisme yang mengakui pluralitas aktor dalam hubungan internasional, faktor Islam tercermin dari berbagai upaya Ormas Islam di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, SOLIDER dan lain-lain dalam mendesak pemerintah untuk turut membantu penyelesaian konflik dan krisis kemanusiaan Rohingya.
Atas dasar itu, pemerintah pada akhirnya melibatkan secara langsung Ormas Islam maupun organisasi filantropi berbasis Islam dalam proses penyaluran bantuan kemanusiaan. Disamping itu, Indonesia juga semakin aktif membawa isu Rohingya dalam agenda diplomasinya di forum internasional seperti OKI.
Selanjutnya, ditinjau dari konsep identitas, lebih jelasnya sumber pembentukan identitas dari level domestik, dapat diketengahkan bahwa alasan yang melatarbelakangi mayoritas umat Islam di Indonesia vokal menyuarakan penyelesaian konflik dan krisis kemanusiaan Rohingya disebabkan oleh adanya kesamaan identitas, yakni Islam.
Ini dapat dipahami, mengingat salah satu pemicu konflik Rohingya ialah konflik berdimensi agama yang melibatkan etnis minoritas Muslim Rohingya, etnis mayoritas Buddha Rohingya serta otoritas Myanmar yang mayoritas merupakan penganut Buddha.(***)
Penulis adalah Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/Dubes RI untuk Brunei Darussalam
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post