Massa meluapkan kemarahan tanpa kehadiran negara, memberi pelajaran mahal kepada pemerintah. Sesaat negara tanpa hukum, tanpa ada kekuasaan yang mengatur dan menghukum.
Atas ketidakmampuan Kapolri, Mendagri, Kepala BIN, dan alat negara lainnya untuk mengantisipasi berbagai dinamika sosial rakyat dari Pati ke Jakarta dan menjalar ke seluruh Indonesia, maka Kapolri dan Mendagri secara gentelemen harus mundur.
Jika tidak mundur, maka Presiden Prabowo diminta memberhentikannya. Secara khusus Kapolri dan Mendagri yang sudah terlalu lama berada dalam jabatan yang sama menimbulkan stagnasi program dan regenerasi. Listyo Sigit Prabowo dan Tito Karnavian dapat diberi tugas baru mengurus makanan bergizi gratis atau duta besar.
Pemerintah secara resmi menyatakan bahwa biaya kerusakan fasilitas umum/pemerintah sebesar Rp950 miliar. Jumlah tersebut tidak termasuk biaya perobatan para korban kekerasan selama aksi yang akan ditanggung pemerintah.
Belum lagi biaya operasional aparat dalam rangka pengamanan aksi. Maka terlalu besar anggaran negara yang terbuang percuma karena ketidakmampuan deteksi dini aksi massa dan potensi kericuhan yang timbul. Maka Presiden Prabowo harus meminta tanggung jawab dari anak buahnya atas kerugian negara tersebut.
Keberanian Presiden Prabowo dibutuhkan oleh negara ini seperti keberanian Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) mengambil alih perkebunan sawit rakyat dan korporasi tanpa putusan pengadilan.
Jika Komandan Satgas PKH saja berani melakukan pengambilalihan lahan sawit rakyat dan korporasi, mengapa Presiden Prabowo tidak berani memberhentikan Listyo dan Tito?
Pemberhentian keduanya sebagai bab pendahuluan bagi buku baru kepemimpinan Presiden Prabowo. Keberanian Presiden Prabowo akan menentukan kita sebagai macan Asia, atau hanya sebagai kucingnya yang diberi nama Bobby.(***)
Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas), Presidium Pergerakan Rakyat Indonesia Makmur Adil (Prima)
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post