Kekuasaan yang didapat hanya digunakan untuk mengakomodasi kepentingan kaum berduit dan mengorbankan kepentingan rakyat. Mereka tak segan mengkhianati amanah meski konon katanya terpilih secara demokratis.
Kedua, penguasa dianggap tidak kompeten dalam mengurusi persoalan publik. Jika motif interaksi negara dengan rakyatnya adalah bisnis maka bisa dipastikan rakyat akan kesulitan untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik dan layak.
Padahal, sejatinya pelayanan tersebut merupakan haknya sebagai warga negara. Lihat saja pada faktanya, rezim gagal atas upayanya dalam menstabilkan harga dan menjaga ketersediaan bahan pokok di masyarakat. Pun, gagal dalam menyelesaikan permasalahan ketahanan pangan lainnya.
Ketiga, penguasa begitu menjunjung tinggi politik pencitraan. Mereka sibuk membangun citra seolah peduli dengan masyarakat. Blusukan kesana kemari, menebar janji manis tanpa jemu. Padahal, rakyat butuh tindakan nyata, bukan sekedar pencitraan.
Ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku, dusta, pencitraan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya memang telah menjadi tabiat demokrasi. Alih-alih melayani rakyat dengan tulus, rezim justru sibuk mencari pembenaran dan pembelaan diri atas kegagalannya.
Sesungguhnya, mahasiswa memang berpotensi sebagai agen perubahan. Sangat menggentarkan apabila mereka sudah bergerak serentak dan satu kata untuk menyuarakan tuntutan mereka terhadap penguasa. Dengan daya kritis dan semangat jiwa muda yang membara.
Mereka berada di garda terdepan untuk menyuarakan penyelesaian berbagai macam problematika bangsa yang sedang mendera. Mahasiswa juga berperan sebagai kontrol sosial atas pemerintahan. Mahasiswa dituntut mampu untuk mengontrol keadaan negara. Selain kritik, mahasiswa juga harus memiliki kontribusi riil untuk perubahan yang lebih baik.
Discussion about this post