Oleh: Muhammad Sam Almunawi, S.H.
Dalam perspektif filosofis, Ketua DPRD tak ubahnya seperti nakhoda kapal demokrasi lokal. Mengarahkan perjalanan lembaga perwakilan agar tidak terhempas oleh gelombang konflik maupun godaan kekuasaan. Keteguhan integritasnya adalah kompas moral; kejernihan pikirannya adalah cahaya yang membimbing; dan komitmennya terhadap rakyat adalah jangkar yang menjaga agar lembaga perwakilan tidak jauh dari tujuan luhurnya.
Keberadaan lembaga perwakilan rakyat dalam negara demokrasi adalah salah satu pilar yang sangat fundamental, lembaga ini berfungsi untuk mewakili kepentingan-kepentingan rakyat pun mengakomodasikan aspirasi tersebut. Setiap keputusan politik harus melalu proses yang demokratis dan transparan dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, sebab, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara demokratis berada pada rakyat.
Prinsip tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, bukan berdasarkan kepentingan partai politik agar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi semakin kuat untuk menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat serta memelihara sistem ketatanegaraan yang mencakup kewenangan memelihara kesinambungan ketatanegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai wakil rakyat di Pemerintahan, DPRD memiliki peran dan tanggung jawab dalam mewujudkan efisiensi, efektivitas, produktivitas, akuntabilitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah melalui pelaksanaan hak, kewajiban, tugas, wewenang dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan Pemberhentian Ketua DPRD
Pergantian Ketua DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota acap kali menjadi peristiwa politik yang memicu perdebatan publik. Satu sisi, partai politik memiliki hak prerogatif untuk menata struktur internal kekuasaannya, termasuk menarik dan mengganti kader yang menduduki jabatan strategis di lembaga legislatif daerah.
Namun pada sisi yang lain, posisi Ketua DPRD bukanlah jabatan privat yang hanya melayani kepentingan partai, melainkan amanah publik yang bersumber dari mandat rakyat. Dari sinilah tarik-menarik antara hak partai dan hak publik muncul sebagai isu krusial dalam praktik ketatanegaraan lokal.
Dalam konteks hukum, Undang-Undang MD3 dan peraturan tata tertib DPRD memberi ruang bagi partai untuk mengusulkan pergantian Ketua DPRD. Argumennya sederhana: jabatan Ketua DPRD diberikan kepada partai pemenang pemilu atau partai dengan kursi terbanyak, sehingga wajar bila partai menjaga posisi itu sebagai bagian dari strategi politik dan konsolidasi organisasi.
Normatifnya, pengaturan pemberhentian Ketua DPRD sangatlah ketat. Jika merujuk pada ketentuan Undang-undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-undang 17 Tahun 2014 Tentang MD3 beserta perubahannya dan Peraturan Tata Tertib DPRD sesungguhnya terdapat beberapa tahapan yang dilalui yang disertai alasan yang sah menurut hukum.
Dalam ketentuan UU MD3, Pasal 239 disebutkan bahwa anggota DPRD berhenti dari jabatannya sebelum berakhir masa jabatannya disebabkan oleh, yakni : meninggal dunia, mengundurkan diri sebagai pimpinan DPRD, diberhentikan sebagai Anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan diberhentikan sebagai pimpinan DPRD.
Selanjutnya, pimpinan DPRD diberhentikan dari jabatannya sebagai pimpinan DPRD apabila : Pertama, melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD berdasarkan keputusan Badan Kehormatan. Kedua, diusulkan oleh parta politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lahirnya pengaturan tersebut sebagai wujud untuk menghindarkan pertimbangan dan anasir yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, sesungguhnya menunjukkan konsistensi bahwa setia orang sama didepan hukum.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota, Pasal 36 menyebutkan: Pimpinan DPRD diberhentikan sebagai pimpinan DPRD dalam hal: Terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik berdasarkan keputusan Badan Kehormatan; atau partai politik yang bersangkutan mengusulkan pemberhentian yang bersangkutan sebagai pimpinan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pasal 40 ayat 1 menyebutkan bahwa Ketua DPRD dapat diberhentikan karena: Meninggal dunia; mengundurkan diri; tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRD; melanggar sumpah/janji; diberhentikan oleh partai politik.
Secara regulasi, partai politik memiliki legitimasi formal dalam hal pergantian ketua DPRD, tetapi dari perspektif demokrasi terdapat aspek substantif yang harus diperhatikan ketika partai politik mengganti unsur pimpinan DPRD.
Jabatan ketua DPRD bukanlah jabatan internal partai, melainkan jabatan publik sebagai perwakilan rakyat dan merupakan bagian dari lembaga legislatif daerah. Dalam teori administrasi publik, jabatan publik merupakan bagian dari public trust, melekat tanggung jawabnya kepada masyarakat bukan sekedar representasi partai semata.
Oleh karena pimpinan DPRD In casu Ketua DPRD merupakan jabatan publik maka seyogyanya pergantian ketua DPRD dilandaskan pada pertimbangan publik : basis tolok ukurnya adalah aspek kinerja, kredibilitas, akuntabilitas kepada masyarakat pun stabilitas kelembagaan, atau bahkan pelanggaran yang dilakukan.
Lebih jauh lagi, konsep public office dalam teori administrasi publik menegaskan bahwa jabatan publik bukan milik individu maupun organisasi yang mengusulkannya, melainkan bagian dari public trust. Sejatinya setiap tindakan terkait pengisian, penggantian, atau pemberhentian pejabat publik harus tunduk pada prinsip public accountability.
Dari argumentasi tersebut terlihat adanya benturan domain normatif yakni pertama, Hak Partai politik sebagai organisasi yang menyuplai kader. Kedua, Hak Publik sebagai pemilik kedaulatan.



Discussion about this post