Hak Partai
Secara normatif, Undang-undang Pemerintahan daerah, Undang-undang MD3 serta Peraturan Tata Tertib DPRD memberikan ruang pada partai politik untuk mengusulkan pergantian pimpinan DPRD. Bagi partai, pergantian pimpinan DPRD dapat menjadi respons terhadap dinamika internal, misalnya evaluasi kinerja, disiplin kader, atau strategi menghadapi pemilu mendatang.
Dalam perspektif politik, tindakan ini merupakan refleksi dari hak partai sebagai pemilik legitimasi awal dari posisi pimpinan DPRD. Pergantian Ketua DPRD memang merupakan hak partai, tetapi jabatan tersebut berdiri di atas mandat publik.
Legitimasi yang kuat tidak hanya ditentukan oleh kepatuhan pada prosedur hukum, tetapi juga oleh penghormatan pada hak publik untuk mendapatkan kepemimpinan yang layak dan transparan. Ketika partai memandang Ketua DPRD sebagai “kursi milik organisasi”, dan bukan sebagai amanah rakyat, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar reputasi partai, melainkan kualitas demokrasi lokal itu sendiri.
Hak Publik
Jabatan Ketua DPRD bukan sekadar representasi partai belaka, melainkan pimpinan lembaga yang bekerja untuk publik. Dalam konteks inilah muncul apa yang bisa disebut hak publik, yakni hak masyarakat untuk mendapatkan kepemimpinan legislatif yang stabil, profesional, dan bebas dari tarik-menarik internal yang tidak relevan dengan kepentingan daerah.
Sering kali pergantian Ketua DPRD dilakukan tanpa alasan yang jelas, dilakukan secara tertutup tanpa transparansi, atau bahkan bermotif murni politik internal, sehingga publik kehilangan hak untuk mengetahui rasionalitas perubahan tersebut.
Ketiadaan penjelasan ini memperlihatkan ketimpangan antara mekanisme formal (hak partai) dan prinsip demokrasi (hak publik untuk mendapatkan pemerintahan yang akuntabel). Sehingga publik akan melihat tindakan itu sebagai penyalahgunaan kewenangan partai terhadap jabatan publik. Ketika kepemimpinan legislatif dijadikan arena transaksi politik, legitimasi moral dan etis jabatan tersebut pun merosot.
Jalan Keluar
Mekanisme pemberhentian Pimpinan DPRD in casu pemberhentian Ketua DPRD selain melalui mekanisme penilaian etik oleh badan kehormatan, dapat juga melalui mekanisme internal partai politik dari pimpinan DPRD yang diberhentikan.
Artinya, secara hukum partai politik memiliki hak untuk memberhentikan anggota yang ditugaskan tentunya dengan alasan yang sah secara hukum. Namun demikian, terdapat keberatan terhadap keputusan partai politik untuk memberhentikan atau menggantikan Pimpinan DPRD, sehingga menjadi perselisihan partai politik.
Jika merujuk pada Undang-undang 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, perselisihan Partai Politik harus diselesaikan secara internal melalui Mahkamah Partai bersangkutan dan apabila tidak tercapai, proses berikutnya adalah melalui gugatan pada Pengadilan Negeri yang putusannya hanya dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan dalam Pasal 32 dan Pasal 33 UU 2 Tahun 2011.
Oleh karenanya, jika ada pihak yang merasa dirugikan dengan keputusan partai atau adanya indikasi pelanggaran AD/ART Partai dalam menerbitkan keputusan partai, maka saluran hukumnya sangat terbuka untuk menguji keputusan partai dimaksud.
Penutup
Jika pergantian Pimpinan DPRD dapat dimaknai sebagai langkah yang demokratis dan sah secara substantif, maka perlu diperhatikan beberapa hal yakni : Transparansi alasan pergantian, agar publik dapat menilai apakah keputusan partai sejalan dengan kebutuhan daerah.
Akuntabilitas kader, sehingga jabatan Ketua DPRD tidak berubah hanya karena dinamika elite, melainkan karena evaluasi objektif.
Keseimbangan antara hak partai dan hak publik, mengingat partai hanyalah pintu masuk, sementara jabatan Ketua DPRD adalah jabatan publik. Wallahu A’lam Bishawab.(***)
Penulis adalah Praktisi Hukum
Jangan lewatkan video populer:



Discussion about this post