Sedimentasi bukan untuk dijual dan ekspor. Mestinya, pemerintah kelola sedimentasi dengan perluasan pulau-pulau kecil yang dihuni oleh masyarakat di pesisir. Karena selama ini, banyak masyarakat mendiami pulau kecil tidak mendapat akses reklamasi oleh pemerintah, seperti pulau-pulau Bajo di pelosok Indonesia.
Pemerintah, mestinya melakukan moratorium terhadap kepemilikan izin lahan hutan oleh oligarki yang selama ini menyebabkan banjir berakibat lumpur, tanah, sampah dan batu gunung bermuara ke laut sehingga terjadi pendangkalan.
PP 26/2023 harus berfokus pada sedimentasi wilayah pesisir sehingga pendangkalan dapat diatasi. Paling penting perbaikan pada hulu dan hilir sungai-sungai sehingga laut bisa bersih, sehat dan steril. Kalau pemerintah tetap memaksa ekspor pasir laut, maka kontra produktif terhadap visi poros maritim dunia yang selama ini dibanggakan.
PP 26/2023 harus dievaluasi, dibatalkan, dan mengatur lebih jelas mulai dari perencanaan, pengawasan sampai dengan evaluasi terhadap proses pengerjaan sedimentasi, bukan pada ekspor pasir lautnya.
PP 26/2023 penanda Hitam Putih Negara Maritim yang selama 8 tahun ini tidak berjalan pembangunan maritim. Justru negara sendiri, memberi jalan kerusakan yakni melalui oligarki rakus dan penghisap. Bayangkan dimasa depan, Indonesia bisa tenggelam dan pulau-pulau kecil bisa hilang akibat ekspor pasir laut.
Sementara, Singapura memandang Indonesia merupakan lahan terbaik untuk dieksploitasi pasirnya. Tentu berdasarkan pengalaman Singapura mendatangkan pasir laut dalam skema proyek reklamasi yang berhasil perluas daratan Singapura dari tahun 1976 berkisar 527 kilometer persegi menjadi 681,7 km2 pada tahun 2001.
Apa keuntungan buat rakyat? tidak ada untung, malah dimasa depan bisa tenggelam. Padahal belum selesai batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga masih melarang ekspor pasir laut. Pembukaan keran ekspor pasir laut dibungkus sedimentasi setelah 21 tahun dihentikan.
Sedimentasi dipakai untuk akomodir kepentingan oligarki yang selama ini mengeruk pasir laut secara ilegal di empat wilayah di Kepulauan Riau yakni Batam, Bintan, Karimun dan Lingga. Bahkan, wilayah Karimun sudah miliki izin Wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).
Discussion about this post