Jika diamati, angka ketimpangan ekonomi Sultra masih berada di atas ketimpangan nasional. Bahkan pada 2018 berdasarkan data BPS, Sultra berada di posisi runner up daerah yang memiliki level ketimpangan tertinggi di Indonesia setelah DIY. Untuk di wilayah Sultra sendiri, tingkat ketimpangan tertinggi berada di Kabupaten Buton Tengah sebesar 0,508, kemudian disusul Kota Baubau 0,452. Angka kesenjangan ekonomi yang dimiliki Kabupaten Buton Tengah tersebut termasuk dalam kategori tingkat ketimpangan tinggi, sementara Kota Baubau termasuk dalam kriteria sedang.
Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa capaian pembangunan kita belum bisa dinikmati secara merata oleh penduduk. Meskipun setiap tahun pendapatan perkapita masyarakat meningkat, tetapi manfaatnya hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk (orang kaya). Sedangkan sebagian besar penduduk dengan kategori miskin memperebutkan sebagian kecil sumber daya untuk meningkatkan pendapatannya. Isu seperti ini yang perlu diperhatikan bersama untuk dicari solusinya dalam rangka pemeratan ekonomi masyarakat.
Arah Baru Perjuangan
Masyarakat harus menyadari bahwa obat mujarab untuk mengatasi masalah pembangunan dan kesejahteraan tidak hanya melalui pemekaran daerah. Apalagi semangat dari pemekaran itu belum didukung dengan lingkungan kelembagaan dan kapasitas daerah yang baik. Vujanovic (2017) dalam penelitiannya dengan judul: Decentralisation to Promote Regional in Indonesia menemukan bahwa, suksesnya jalannya otonomi daerah dalam penyelenggaraan pelayanan publik sangat bergantung pada kapasitas daerah dan lingkungan kelembaganya. Kelembagaan yang dimaksud misalnya terkait dengan keterampilan personel (SDM), infrastruktur, teknologi, keuangan, manajerial dan sebagainya.
Jika hal ini tidak diperbaiki, maka tujuan pemekaran untuk mendorong pembangunan, meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dibeberapa kasus lain, kapasitas daerah dan kelembagaan yang lemah seringkali menjadikan daerah memiliki basis pendapatan lebih kecil sehingga menjadi hambatan serius bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan. Selain itu, daerah baru juga hanya akan menjadi ladang “perburuan rente” para elit sehingga masyarakat kesulitan untuk mengakses kebutuhan ekonominya.
Dengan demikian, pembenahan kembali kelembagaan daerah menjadi aspek yang paling penting untuk diperhatikan. Bukannya mengingkari, tetapi sebaiknya hasrat perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Buton perlu direfleksikan ulang, sambil menunggu PP Penataan daerah dan PP Desain Besar Penataan Daerah yang mengatur secara teknis pemekaran wilayah diterbitkan. Tidak perlu membangun narasi yang berlebihan sampai harus saling melampar tudingan. Toh, secara administratif usulan pemekaran itu sudah diterima oleh pemerintah pusat sumber dari Tirto.
Terlepas dari itu, kita patut mengapresiasi langkah yang sudah dilakukan oleh semua para penggagas dan pejuang yang sudah terlibat. Saat ini, alangkah lebih baiknya jika energi perjuangan yang membara itu dialihkan untuk mengawal setiap daerah agar memiliki kapasitas kelembagaan yang baik dan terampil dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi. Memastikan agar setiap daerah di wilayah cakupan Kepton dapat meningkatkan inovasi misalnya: pengembangan produk unggulan, pemberdayaan, membangun infrastruktur, meningkatkan kualitas SDM, pelayanan dan sebagainya.
Sebab aktor utama dari pelayanan publik terletak di daerah Kabupaten/Kota yang masih diberikan kewenangan luas oleh undang-undang dibandingkan dengan Pemerintah Provinsi. Sehingga, ketika keran moratorium telah terbuka, Kepulauan Buton dapat menjadi daerah persiapan otonomi baru yang benar-benar siap menghadapi tantangan masa depan. Tidak lagi menjadi daerah baru yang masih memperdebatkan persoalan asset, tapal batas, polemik ibu kota, korupsi di saat masalah kesenjangan ekonomi masih menghantui masyarakat. (**)
Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik
Discussion about this post