Oleh: Rofingatun
Program prioritas hilirisasi tambang, khususnya nikel masih menjadi statement tegas Indonesia di mata dunia. Mengacu pada hasil putusan sidang sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia memang dinyatakan kalah dalam gugatan Uni Eropa. Namun, Indonesia masih berupaya keras untuk mengajukan banding atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
Pemerintah berpandangan keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga masih terdapat peluang untuk banding. Selain itu, Pemerintah juga tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang tidak sesuai sebelum keputusan diadopsi oleh Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO.
Kebijakan larangan ekspor bijih nikel berlangsung sejak Januari 2020 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kebijakan ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana perusahaan pertambangan tidak lagi melakukan ekspor bahan mentah.
Hilirisasi di sektor mineral menjadi kunci pengoptimalan nilai tambah dari produk-produk pertambangan untuk berkontribusi pada penerimaan negara, selain dari pajak dan batubara.
Kebijakan ini menjadi pertaruhan, sekaligus komitmen besar Indonesia untuk mendorong transformasi energi dan menjaga masa depan bangsa.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor produk turunan nikel mencapai US$12,35 miliar pada Januari–Agustus 2022, atau tumbuh hingga 263% jika dibandingkan tahun 2019. Sebelum adanya pemberlakukan larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor hanya mencapai US$3,40 miliar.
Discussion about this post