HPAL melibatkan proses pelindian pada temperatur dan tekanan yang tinggi (240-270°C, 33-55 atm).
Teknologi ini pertama kali diterapkan di Cuba pada tahun 1959 dan tahun 2000 oleh 2 perusahaan yang berbeda, kemudian tiga perusahan di Australia menggunakan teknologi ini mulai tahun 1988-1999, serta di Filipina.
Dari semua proyek tersebut, hanya di Cuba dan Filipina yang berhasil dengan baik mengoperasikannya. Sumitomo, perusahaan investasi bisnis dan perdagangan global asal Jepang di Pulau Palawan, menggunakan teknologi HPAL generasi ketiga dan telah berhasil dengan baik yang menyempurnakan teknologi sebelumnya.
Teknologi generasi ketiga ini telah mengadopsi sistem pengendalian lingkungan yang efektif, yang ditandai dengan lebih sedikitnya jumlah sisa proses yang dibuang jika dibandingkan dengan proses teknologi generasi HPAL sebelumnya, termasuk terhadap proses peleburan.
Karena efektivitasnya dalam pengendalian lingkungan, teknologi HPAL generasi ketiga ini dikenal juga dengan sebutan “Proses Hijau”.
Di Indonesia, teknologi ini telah dikembangkan dan diimplementasi. Teknologi HPAL dari China berhasil dikembangkan di Pulau Obi di bawah PT Halmahera Persada Lygend (HPL), salah satu perusahaan milik Harita Nickel yang saat ini sudah beroperasi dengan kapasitas pengolahan pabrik sebesar 8,5 juta ton bijih.
Discussion about this post