Partai Nasdem sebagai “die hard” Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pilkada 2017 melawan Anies Rasyid Baswedan (ARB), kini menjadi Parpol pertama dan utama pendukung ARB di Pilpres 2024.
Partai Amanat Nasional (PAN) dalam dua kali Pilpres selalu di kubu lawan Jokowi, yakni Prabowo Subianto. Namun setelah Pilpres usai, PAN langsung merapat dan dapat ganjaran “menteri” oleh Jokowi. Demikian juga dengan Partai Golkar, dan PPP di Pilpres 2014 mendukung Prabowo, langsung mengubah dukungannya pasca kekalahan Prabowo, juga diganjar menteri oleh Jokowi.
Semua Parpol tanpa terkecuali berlomba mencalonkan artis, bahkan Aldi Taher diajukan sebagai bacaleg oleh dua partai. Ironisnya, justru ada pengurus partai yang tidak percaya diri bertarung sebagai caleg. Bahkan maju sebagai calon perseorangan menjadi calon Anggota DPD RI.
Persyaratan mundur sebagai pengurus Parpol sebagai syarat utama, hanya dijadikan syarat administrasi. Faktanya, pengurus Parpol tersebut hingga saat ini masih aktif dalam kegiatan Parpol. Mereka beralasan bahwa syarat mundur sudah dibuat, soal pengunduran diri diterima, itu urusan Parpol.
Peta Politik Masih Akan Berubah
Meski sebagian Parpol mengumumkan bakal calon presiden (bacapres), baik Prabowo Subianto, Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo, Airlangga Hartarto, semua masih akan berubah. Sekalipun Parpol “kegenitan” membuat “piagam perjanjian”, menanda tangani “nota kesepahaman atau kesepakatan”. Namun demikian, hingga pasangan capres dan cawapres didaftarkan ke KPU RI, semuanya masih abu-abu.
Pembelahan politik pasca reformasi selalu berada pada dua kutub, ikut penguasa atau antitesa. Demikian juga saat ini, saat mayoritas Parpol “jinak” kepada Jokowi, maka di kubu pemerintahan, semua mengambil posisi aman, menunggu perintah dan arahan Jokowi.
Bahkan, meskipun Jokowi sejak semula telah memberi isyarat akan mendukung (harus mendukung) Ganjar, semua bacapres dan Parpol masih berharap “belas kasihan” Jokowi. Sementara “kubu antitesa” masih gaduh karena tim delapan tidak kunjung mengumumkan bacawapres ARB.
Pemilu 2024 Rakyat Tidak Peduli
Meski akhirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) menolak permohonan perubahan sistem Pemilu dari terbuka menjadi tertutup, namun antusiasme masyarakat sama sekali tidak terlihat. MKRI yang sempat diancam delapan Fraksi DPR RI, justru kini diapresiasi sebagai lembaga negara yang terpuji.
Denny Indrayana sebagai pencetus rumor, Parpol pendukung sistem proporsional terbuka mengapresiasi MKRI. Meski sistem Pemilu terbuka diklaim sebagai sistem yang paling demokratis, partisipatif, namun rakyat sama sekali tidak memberi perhatian kala terjadi kehebohan para elit politik.
Pemilu (Pileg dan Pilpres) 2024 direncanakan akan digelar pada Rabu (14/2/2024), sementara Pilkada direncanakan diselenggarakan pada Rabu (27/11/2024). Namun antusiasme rakyat sama sekali tidak meningkat.
Jika ada kegiatan bacapres di berbagai kota dan daerah, semua masih terlihat diorganisir oleh Parpol dan relawan pendukung. Antusiasme rakyat tidak lagi terasa, partisipasi publik semakin jauh. Rakyat sudah jenuh dengan seremoni deklarasi, semakin muak dengan sosialisasi tanpa isi.
Jika peserta Pemilu yakni, Parpol, perseorangan, pasangan calon tidak segera mengubah strategi perkenalan diri, maka sangat mungkin pesta demokrasi Pemilu 2024 akan sepi. Rakyat tidak tertarik menghadiri pesta, karena “makanan” yang disajikan tidak menarik, tidak enak, bahkan terasa hambar.
Peserta Pemilu yang tidak mampu menyajikan ide, gagasan, dan program politik yang “baru”, akan ditinggal rakyat. Rakyat akhirnya marah dengan tidak bersedia menggunakan hak pilihnya.
Discussion about this post