Oleh : Teti Ummu Alif
Sepanjang 2021 perbincangan seputar layak tidaknya hukuman mati bagi para koruptor terus bergema. Mulai dari ruang diskusi akademik hingga obrolan warung kopi. Belum lama ini, wacana tersebut kembali menyeruak keruang publik setelah terdakwa kasus dugaan korupsi PT ASABRI, Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung (Kejagung), di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa lalu seperti dilansir CNNIndonesia.com, Kamis 9 Desember 2021.
Tak ayal, tuntutan ini menuai pro kontra masyarakat. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan turut bersuara. Menurutnya, tuntutan hukuman mati bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku kasus korupsi berskala besar. Ia, berharap langkah itu bisa menjadi sebuah inovasi dalam penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia.
Sementara itu, salah satu LSM yang vokal dalam hal pemberantasan korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW) justru menilai hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi koruptor. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan hingga saat ini belum ada literatur ilmiah yang membuktikan bahwa hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara. Ia mengatakan justru negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi atau dianggap paling bersih dari praktik korupsi tidak memberlakukan hukuman mati.
Menurut dia, hukuman ideal bagi pelaku korupsi adalah kombinasi antara pemenjaraan badan dengan perampasan aset hasil kejahatan atau secara sederhana diartikan pemiskinan.
Hal senada, Amnesty International Indonesia (AII) menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali- terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, ataupun metode eksekusi yang digunakan. Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid, menilai hukuman mati merupakan pelanggaran hak untuk hidup sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Ia menilai hukuman mati bukan solusi efektif dalam pemberantasan korupsi.
Tarik ulur tentang vonis mati bagi para tikus berdasi di negeri ini sudah sering kali terjadi.
Sebelumnya, Dicky Iskandar Dinata dituntut hukuman mati atas kasus pembobolan Bank BNI melalui transaksi fiktif senilai Rp1,7 triliun. Namun, pengadilan memvonis Dicky dengan 20 tahun penjara. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri pun sempat mengutarakan kemungkinan menjatuhkan tuntutan hukuman mati pada koruptor, terutama terkait penanggulangan Covid-19. Namun, itu belum terbukti sejauh ini, termasuk pada mantan Menteri Sosial Juliari Batubara kala menjadi terdakwa korupsi dana bansos Covid.
Persoalan pemberantasan korupsi dalam negeri seolah menjadi pekerjaan yang tak berujung. Alih-alih kasusnya berkurang malah semakin menggurita dan membudaya. Setiap lembaga Negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif hampir semuanya pernah terpapar perilaku korup. Nah, pertanyaannya jika hukuman mati tidak memberi efek jera bagi pelaku, jenis hukuman apa yang pantas bagi para koruptor?
Dipenjara seringkali ganjarannya tak sepadan dengan jumlah uang yang dikorupsi. Malah berleha-leha di sel penjara mewah. Dirampas atau disita asetnya, kekayaan mereka tidak berkurang banyak. Adakah rampasan aset itu membuat koruptor itu jatuh miskin?
Discussion about this post