Tanda-tanda akan matinya bahasa Kabaena ini sudah ada. Penutur bahasa ibu di pulau kaya nikel itu hanya ada di masyarakat yang bermukim di beberapa kampung purba, di dataran tinggi.
Warga di Desa Tangkeno, Tirongkotua, Rahadopi masih dominan menggunakan “Hartia Ntokotua” dalam keseharian. Itupun hanya mereka yang usianya diatas 25 tahunan. Remaja dan anak-anak? Rata-rata berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia dalam interaksi keseharian, atau diselingi Bahasa Kabaena.
Di dataran rendah, sudah kian sulit menemukan kerumunan orang yang berkomunikasi dengan Bahasa Kabaena. Bilapun ada, seringkali dibaurkan juga dengan Bahasa Indonesia. Akulturasi budaya dengan saudara kami dari jazirah selatan Sulawesi, apalagi bila sudah terikat pernikahan, kian sulitlah Bahasa Kabaena langgeng. Anak-anak yang lahir dari pernikahan antar kultur ini, berkomunikasi dengan orang tuanya menggunakan Bahasa Indonesia.
Sedangkan mereka yang berdiam dan membangun peradaban di pesisir Pulau Kabaena justru sama sekali tidak lagi menggunakan Bahasa Kabaena. Mereka mungkin paham arti, tapi tidak punya trigger untuk mengenal apalagi mengucap Bahasa Kabaena.
Satu-satunya tempat dimana anda bisa menikmati tuturan halus dan penuh makna Bahasa Kabaena yakni saat acara pernikahan. Urusan adat, antara kandidat mempelai pria dan wanita dibahas dengan Kabaena tulen.
Bagaimana caranya agar Bahasa Kabaena itu bisa lestari? Pertama tentu saja harus segera dinaskahkan dengan baik. Mesti ada dokumentasi sejarah tentang ini, paling tidak bilapun dia mati, masih bisa hidup lagi.
Bagi saya, naskah yang sedang atau bahkan telah disusun dalam buku oleh akun bernama Adi Marno itu adalah sebuah terobosan dan langkah maju. Nanti dinilai secara akademis sebagai alat ujinya, apakah memang layak disebarluaskan atau tidak.
Selain dinaskahkan, opsi lain agar bahasa itu lestari adalah harus sering ada input alias interaksi berbahasa daerah di lingkungan keluarga. Anak-anak mesti dibiasakan mengenal bahasanya. Buatlah mereka bukan saja mendengar, tapi mendengarkan dan menyimak. Sering-seringlah perdengarkan bahasa ibu dalam keseharian. Itu yang disebut input.
Nah, outputnya adalah ajak mereka berkomunikasi atau bawa ke sebuah komunitas yang berinteraksi dengan bahasa ibu.
Ilustrasinya, berenang itu, bukan hanya diajar teori tapi bawa ke kolam renang sekalian. Sama dengan berbahasa, bukan diajar teorinya tapi praktikan.(***)
Penulis: Penyuka Kopi
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post