Entah, bagaimana perasaan para remaja sekarang jika mendengar adanya “kenakalan orang tua”? Mungkin juga mereka punya sikap yang sama yakni jengkel dan sejenisnya.
Penulis pernah mendengar curhatan salah seorang mantan ajudan pejabat yang pernah beberapa kali ganti pimpinan. Curhatannya sangat memiriskan, katanya “hampir” semua bos yang dikawalnya punya sisi “nakal” dalam kehidupan seks.
Maksudnya melakukan hubungan seks bukan dengan pasangan hidupnya (suami/istri), ada yang melakukan kenakalan dalam bentuk “jajan” dengan penjaja/Pekerja Seks Komersial (PSK), ada juga yang berani selingkuh dengan temannya yang notabene merupakan suami/istri orang lain.
Mendengar curhatan tersebut, penulis menjadi teringat dengan tragedi “revolusi seksual” yang pernah terjadi di Amerika Serikat antara tahun 1960-1980-an.
Revolusi seksual atau pembebasan seksual adalah sebuah gerakan sosial yang menentang nilai-nilai tradisional terkait seksualitas dan hubungan interpersonal. Pasca revolusi seksual tersebut, kehidupan bangsa Amerika dikenal menjadi sangat liberal (bebas).
Namun liberalism, khususnya kebebasan seksual, di Amerika itu tidak membuat bahagia warga Amerika terutama kaum perempuan (para istri) yang ada di sana.
Hal ini terungkap dari hasil penelitian ilmuwan perempuan Perancis yang meneliti mana lebih bahagia istri-istri di Amerika dengan cara hidup diri dan suaminya yang liberal atau para istri di Timur Tengah (khususnya Arab Saudi) yang dipoligami oleh para suaminya?
Hasil penelitian sekitar tahun 1990-an itu menyebutkan ternyata istri-istri orang Arab yang dipoligami pada umumnya merasa bahagia.
Jika dikaitkan dengan kebebasan seksual ala Amerika dengan model poligami di Timur Tengah atau Arab Saudi, posisi Indonesia yang mayoritas Islam seharusnya lebih condong mengikuti pola Arab Saudi. Persoalannya, perempuan Indonesia berbeda dengan perempuan Saudi Arabia.
Jika perempuan di Arab Saudi memandang suaminya sendiri berpoligami adalah sebagai “peluang besar” bisa mendapatkan surga di akhirat (karena menerimanya dengan iman), maka perempuan Indonesia memandang sebagai “ancaman besar masuk neraka dunia” jika suaminya berpoligami.
Sebenarnya, untuk para lelaki/suami sejenis DH atau para pejabat nakal yang suka diam-diam “jajan” di luar rumah atau selingkuh (seperti yang diceritakan mantan ajudan di atas), berpoligami adalah cara lain yang lebih terhormat karena lebih halal dalam pandangan agama/Tuhan.
Tentu saja, jika punya istri lebih dari satu, ada tuntutan lain yakni harus bisa berlaku adil terhadap para istrinya.
Selain itu, hal tersebut juga berpulang kepada para istri pertama (“istri tua”) mereka, apakah para istri pertama akan mengizinkan suaminya berpoligami? Hanya para istri pertamalah yang bisa menjawabnya.
Tapi yang lebih aman, dan paling aman, adalah bersyukur dengan satu istri yang selama ini menemani kita dalam suka dan duka, seperti halnya firman Allah SWT dalam Alquran surat an-Nisa ayat 3, “….jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”. Ya, satu tapi bisa menjadi segalanya buat kita.
Selain itu, usaha untuk meredam syahwat agar tidak terjerumus dalam perzinahan, bisa dengan berpuasa sunnah secara rutin, berolahraga, berkarya, atau melakukan kegiatan-kegiatan positif lainnya yang dapat mengalihkan pikiran/hasrat/hayalan kita dari syahwat yang bisa menjerumuskan pada kehancuran.(***)
Penulis adalah Doktor Adm. Publik UHO, Alumni UIN Bandung, kini Penata Kependudukan dan KB Ahli Madya Sulawesi Tenggara
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post