Oleh: Syamsir Datuamas
Belum lama terjadi perdebatan tentang maskot Seleksi Tilawatil Qur’an dan Hadis (STQH) Nasional ke-28 di Kendari yang menampilkan sosok anoa merupakan hewan endemik Sulawesi sedang memeluk Alquran, telah menjadi sorotan publik.
Ada yang menilai hal itu sebagai bentuk penghormatan terhadap kitab suci, ada pula yang menganggapnya tidak pantas bahkan menyerempet pada penistaan agama.
Bagi saya, persoalan ini perlu dilihat secara jernih dan proporsional. Dalam setiap event nasional, maskot lazim digunakan sebagai simbol identitas daerah tuan rumah. Kendari memilih anoa karena hewan ini merupakan ikon khas Sulawesi Tenggara.
Ketika anoa digambarkan memeluk Alquran, kemungkinan besar niat awalnya adalah untuk menampilkan semangat kecintaan masyarakat Sulawesi terhadap Alquran sebagai pedoman hidup, bukan untuk melecehkan simbol suci Islam.
Namun demikian, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa dalam konteks Islam, Alquran memiliki kedudukan yang sangat sakral. Menempatkannya dalam ilustrasi tertentu, apalagi melibatkan simbol hewan, bisa menimbulkan kesan yang kurang pantas di mata sebagian umat.
Di sinilah letak persoalannya, bukan pada niat, melainkan pada sensitivitas terhadap simbol keagamaan.
Discussion about this post