Jika kita menelaah secara rasional, penistaan agama secara hukum (menurut KUHP dan UU ITE) mensyaratkan adanya niat atau unsur kesengajaan untuk menghina atau merendahkan agama.
Dalam kasus ini, tidak ada indikasi bahwa maskot tersebut dibuat dengan maksud menghina Islam, melainkan sebagai bentuk identitas lokal yang bersanding dengan nilai keislaman.
Dengan demikian, secara hukum dan logika, tidak bisa langsung disebut penistaan agama, tetapi lebih tepat dikatakan kelalaian dalam mempertimbangkan sensitivitas simbol keagamaan.
Maskot bukan hanya sekadar gambar, ia adalah bahasa visual yang bisa menyatukan atau justru memecah. Maka, mari kita perlu menjaga agar setiap simbol yang lahir dari daerah kita menjadi jembatan pemahaman bukan sumber kesalahpahaman.(***)
Penulis adalah Pemuda Pemerhati Ekonomi Nelayan
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post