Oleh: Fitri Suryani, S.Pd
Ratusan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Wawotobi, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar aksi demo di halaman sekolah mereka, pada Senin (10/10/2022). Para siswa mendesak pencopotan kepala sekolah (kepsek) berinisial SHN karena diduga telah melakukan tindakan asusila terhadap beberapa siswa di sekolah tersebut.
Para pelajar membawa spanduk dan pamflet bertuliskan “Kami menolak KS Biseksual”. Selain itu, ada juga yang bertuliskan “Stop LGBT, selamatkan generasi”. Pun dalam orasinya, mereka menolak dipimpin oleh kepala sekolah yang telah mencoreng dunia pendidikan.
Sementara itu, Suhaedar salah satu guru yang juga ikut demonstrasi menegaskan bahwa SHN tidak perlu kembali ke SMA Negeri 1 Wawotobi. Ia pun mengatakan masih banyak pemimpin yang lebih baik dan lebih bermoral. Suhaedar juga menyatakan bahwa SHN tidak perlu kembali untuk mengotori dunia pendidikan.
Suhaedar menambahkan bahwa sebagian guru SMA Negeri 1 Wawotobi akan melaporkan dugaan pencabulan yang dilakukan oknum Kepsek SHN terhadap beberapa pelajar di sekolah tersebut (Kompas.com, 10/10/2022).
Fakta di atas seakan menggambarkan bahwa kasus lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) saat ini telah merambah ke berbagai lini, tak terkecuali dunia pendidikan.
Miris memang, padahal dunia pendidikan di dalamnya merupakan orang-orang intelektual yang semestinya dapat membedakan apakah perbuatan yang dilakukan benar atau salah dan berpikir jauh ke depan terkait efek dari perbuatan yang dilakukan.
Selain itu, masalah LGBT yang ada saat ini tentu bukan tanpa sebab, mengingat banyak hal yang memicu hal itu terjadi. Adapun penyebab hal tersebut di antaranya minimnya ketakwaan individu.
Bagaimana tidak, jika hal itu dialami oleh seseorang maka apapun yang dilakukan tidak lagi memandang apakah yang dilakukan benar atau salah menurut pandangan agama. Sebab hawa nafsu telah menjadi tuntunan dalam berbuat.
Tak hanya itu, banyaknya media yang minim edukasi bahkan asusila. Media tersebut pun begitu mudah diakses oleh semua kalangan, tak terkecuali anak yang masih bau kencur. Dari itu, tidak menutup kemungkinan yang awalnya hanya menyaksikan perbuatan tak senonoh tersebut dari media online yang akhirnya ingin mempraktikkannya.
Belum lagi tidak sedikit yang melakukan tindakan menyimpang tersebut bertameng atas nama hak asasi manusia (HAM). Sehingga para pelakunya sulit untuk dijerat hukum karena selalu berlindung dibalik HAM.
Discussion about this post