Tidak hanya dimensi material yang berkecukupan sebab ongkos naik haji yang lumayan mahal. Melainkan juga mengharuskan pelakunya memiliki kesehatan fisik, mental dan keteguhan spiritual. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Allah SWT mengganjar orang yang melakukan ibadah haji dengan ampunan dan pahala yang berlipat ganda.
Hanya saja, berhaji di zaman kapitalis sekuler saat ini menjadi rumit dan ribet. Segala kebijakan penyelenggaraan haji yang dibuat pemerintah justru tidak memudahkan kaum muslim mengunjungi Ka’bah. Sehingga, animo umat muslim yang tinggi seringkali tidak berbanding lurus dengan realita.
Bagaimana tidak, daftar tunggu jamaah haji Indonesia terus membengkak dari tahun ke tahun. Bahkan, bisa mencapai 32 tahun. Belum lagi pembatasan kuota jamaah haji yang sering dilakukan Arab Saudi. Sungguh miris.
Ya, dalam paradigma berpikir kapitalisme yang digunakan sebagai pijakan oleh mayoritas negeri Islam, jelas ritual haji tak lepas dari aroma bisnis. Lihat saja, para pelaku bisnis biro perjalanan haji begitu menjamur.
Mereka tak segan menjajakan berbagai macam kemudahan dan keistimewaan perjalanan haji demi memanjakan para jama’ahnya. Termasuk bisnis bodong dengan iming-iming haji yang cepat tanpa harus menunggu lama.
Beginilah gambaran penyelenggaraan haji di negara berideologi batil. Segalanya tidak luput dari unsur materi.
Sejatinya, pelaksanaan ibadah haji membutuhkan sistem yang mendukung dan mengembalikan kedudukan haji sebagai bagian dari rukun Islam. Negara seyogianya mampu memfasilitasi penyelenggaraan haji dengan birokrasi yang mudah dan tak bertele-tele.
Pemerintah hendaknya bisa mengantisipasi sejak awal segala persyaratan administrasi yang diajukan seperti vaksin dan usia. Sehingga, para calon jama’ah haji tidak menjadi korban ketidakpastian pemerintah dalam menyiapkan syarat tersebut.
Discussion about this post