Oleh: Zuumi Kudus
Menyoal tentang kejuangan secara sederhana dapat dipahami berkenaan dengan perihal berjuang, berhubungan dengan urusan berjuang. Sedangkan perjuangan ialah usaha yang penuh dengan kesukaran dan bahaya.
Secara eksplisit perilaku tersebut salah satunya dapat dijumpai pada sosok tokoh pejuang kemerdekaan yang telah lama ditulis dan dipelajari pada buku-buku sejarah di semua jenjang satuan pendidikan serta diberi label Pahlawan Nasional.
Kita pernah diajarkan tentang bagaimana heroiknya Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Pangeran Pattimura, Sultan Hasanuddin dalam menentang imperialisme dan kolonialisme Belanda serta masih banyak lagi.
Secara emosional Provinsi Sulawesi Tenggara dalam konteks ini memiliki banyak potensi tokoh untuk terus digali menjadi kandidat Pahlawan Nasional. Ada 2 orang tokoh penting Sulawesi Tenggara yang telah dijadikan sebagai Pahlawan Nasional.
Pertama bapak Moehammad Jasin, lahir di Baubau, 9 Juni 1920 dan beliau (Komjen Pol. (Purn) DR. H. M. Jasin wafat pada Kamis, 3 Mei 2012). Tindakan monumental yang pernah dilakukan Moehammad Jasin adalah saat ia memproklamasikan perubahan Polisi Istimewa menjadi Polisi Indonesia.
Untuk mengenang jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden No. 116/TK/Tahun 2015, 5 November 2015, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Kedua adalah Oputa Yi Koo atau Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Gelar/Nama Sultan) Sultan Buton ke-20 dan ke-23.
Berdasarkan hasil penelitian atas jasanya dalam melawan imperialisme Belanda di Kesultanan Buton dianugerahi Pahlawan Nasional yang dituangkan dalam Surat Keputusan Presiden (Kepres) Nomor:120/TK/2019 dan diserahkan oleh bapak Presiden Joko Widodo kepada salah satu rumpun ahli warisnya (H. Ali Mazi, S.H) tanggal 7 November 2019 di Istana Negara Jakarta.
Keberadaan sosok Oputa Yi Koo yang memulai perjuangannya 272 tahun lalu (1751 M) menjadi penting untuk dipelajari oleh generasi kekinian baik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah maupun perguruan tinggi.
Semangat dan nilai-nilai kejuangan beliau memiliki persamaan spirit dengan Pancasila dan UUD 1945 baik yang bersifat nilai-nilai dasar maupun nilai operasional.
Jika dilihat dari angka tahun jejak Pangeran Diponegoro (lahir 11 November 1785) dan memulai pemberontakan tahun 1882 maka 34 tahun sebelum lahirnya Bendoro Raden Mas Ontowiryo (nama kecil Pangeran Diponegoro), Oputa Yi Koo telah melakukan perlawanan bersenjata terhadap imperialisme Belanda di area Kesultanan Buton.
Fenomena ini penting untuk dipelajari oleh peserta didik di semua jenjang untuk mengambil hikmah serta spirit perjuangannya untuk menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme dalam melanggengkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selayang Pandang Oputa Yi Koo
Beliau lahir di Wolio (Keraton Buton/ibukota Kesultanan Buton) di awal abad 18. Ayahnya bernama La Umati (Sultan Buton ke-13) bergelar Sultan Liyauddin Ismail dimana sebelumnya dikenal sebagai Kapitaraja yang gagah berani.
Nama aslinya “La Karambau” oleh karena perawakannya berwatak keras, bertubuh besar, tinggi kekar dan merupakan anak ke-3 dari 12 bersaudara. Semenjak kecil dibekali dengan ilmu agama, pemerintahan dan beladiri. Dalam proses pertumbuhannya telah menampakkan jiwa kepemimpinan di mana senantiasa menjadi panutan dan pemimpin dari teman-teman sebayanya.
Dari pantauan kalangan “Siolimbona” (Dewan Perwakilan Rakyat Kesultanan Buton) telah diprediksi bahwa anak ini akan menjadi pemimpin besar dimasa mendatang. Disaat dewasa La Karambau mempersunting putri Sultan Sakiuddin Darul Alam (Sultan Buton ke-19). Dari pernikahannya dikaruniai 3 orang putra yaitu Kapitalau Lawele, La Ode Harikiama, La Ode Pepago dan seorang putri bernama Wa Ode Wakato.
Tahun 1751 La Karambau dicalonkan oleh Kaomu Tanayilandu (Salah satu Fraksi dari 3 Fraksi di Siolimbona yaitu Kumbewaha, Tanayilandu dan Tapi-Tapi) dalam bursa pemilihan Sultan Buton ke-20. Beliau terpilih sebagai Sultan Buton ke-20 dengan gelar Himayatuddin Muhammad Saidi Ibnu Sulthaani Liyasudiya Ismail.
Perjuangan Oputa Yi Koo
1. Sebab Perlawanan
Pemicu bangkitnya pergerakan melawan imperialisme Belanda di jazirah Kesultanan Buton oleh Oputa Yi Koo antara lain disebabkan oleh adanya 3 kebijakan dari kompeni Belanda tentang pemberlakuan “Hongitochten” yang diperjanjikan dengan Belanda tanggal 25 Juni 1667.
Secara umum isi perjanjian tersebut meliputi:
a. Kewajiban untuk memusnahkan seluruh tanaman pala dan cengkeh di wilayah kesultanan Buton baik sudah menghasilkan maupun yang baru ditanam
b. Kewajiban mengirim upeti berupa bahan makanan kepada Belanda
c. Pergantian Sultan harus diketahui oleh Belanda
d. Perjanjian tahun 1667 adalah menghianati perjanjian tahun 1613 yang menempatkan Buton dan Kompeni pada level yang sama dan setara sebagai sesama negara merdeka dan berdaulat.
Perjanjian yang terkesan dipaksakan ini secara ekonomi maupun secara politik sangat merugikan kesultanan Buton. Dalam aspek ekonomi bahwa pemusnahan seluruh tanaman pala dan cengkeh sebagai salah satu komoditi unggulan sangat mempengaruhi merosotnya pendapatan petani bahkan melahirkan pengangguran yang secara langsung mempengaruhi stabilitas ekonomi kesultanan.
Sebagai masyarakat maritim tentunya akan mempengaruhi pula proses perdagangan antar pulau. Pelayar-pelayar Buton yang menggunakan jasa ekspor komoditi cengkeh dan pala di pulau Jawa seperti Surabaya dan Batavia (Jakarta) seketika sepi muatan.
Hal ini diperparah lagi adanya kewajiban Kesultanan Buton memberi upeti kepada Belanda ditengah merosotnya ekonomi negara. Diktum pergantian Sultan Buton harus diketahui Belanda menempatkannya dalam tekanan hegemoni politik kekuasaan Belanda.
Buton tidak lagi berada pada prinsip kesetaraan yang memiliki kedudukan sama sebagai dua negara berdaulat dan saling menghormati. Inilah yang menyulut kemarahan La Karambau mengibarkan genderang perang dikala itu dan mengabaikan perjanjian Buton – Belanda tanggal 5 Januari 1613 dan perjanjian 25 Juni 1667.
2. Kisah Perlawanan
Bulan Juni 1752 kapal Rust en Werk yang berlabuh di Kotamara ditagih syahbandar kesultanan untuk membayar pajak pelabuhan. Kapten Kapal Rust en Werk bersikeras tidak membayar pajak pelabuhan.
Peristiwa ini dilaporkan ke Panglima La Sungkuabose dan beliau mendukung untuk tetap menarik pajak pelabuhan. Keadaan ini diadukan kepada Sultan Buton Himayatuddin Muhammad Saidi dan akhirnya meletuslah tragedi penghancuran kapal Rust en Werk.
Seorang pembelot berkebangsaan Belanda bernama Fransz Fransz berkoalisi dengan pasukan Sultan Himayatuddin turut membantu menyerang dan menenggelamkan kapal tersebut. Membunuh seluruh awak terkecuali anak-anak dan perempuan ditawan di istana Sultan Himayatuddin.
Frans-Frans melarikan diri ke Kabaena beserta pasukannya serta membawa sejumlah harta rampasan. Mengetahui peristiwa ini diawal tahun 1753 Belanda mengutus Onderkoopman Johann Banelius didampingi oleh Banelius, Komandan Artileri Jan Baptiste de Morquit, dan Letnan Laut Laurens Heutepen.
Bertolak dari Makassar dengan membawa sejumlah tentara menumpang kapal Kaaskoper dan Carolina untuk menuntut Sultan Buton membayar kerugian atas peristiwa kapal Rust en Werk dan menangkap Fransz Fransz beserta pasukannya.
Walaupun pertempuran di Kabaena menewaskan Fransz Fransz namun pihak Buton tidak sepenuhnya memenuhi keinginan Belanda dan bahkan membebani Belanda karena permintaan budak dipenuhi dengan mengirimkan lansia serta anak-anak yang tidak ada manfaatnya.
Kapten Johan Camper Rijsweber diperintahkan sebagai Komando Pasukan Tertinggi tiba di Bontain pada tanggal 31 Januari 1755 dengan kapal pemburu “Adriana” dari Makassar didampingi kapal Samalag, Ouwerkerk dan kapal-kapal perang kecil disebut Chaloepoen masing-masing de Moer min, het Portuin, dan de Arnoldina diberangkatkan untuk menyerang
Buton.
Rijsweber meninggalkan Bulukumba tanggal 19 Februari 1755 menuju Buton dengan membawa tambahan armada yaitu Huis te Henpat, de Paari, Oliagis, dan Triston. Tercatat keseluruhan armada perang Belanda tiba di Buton tanggal 23 Februari 1755 pukul 16.00 dan selanjutnya melepaskan tembakan penghormatan namun tidak dibalas oleh pasukan Kesultanan Buton.
Belanda menerima informasi bahwa kedatangannya telah diketahui Buton dan telah memasang pagar runcing dari pesisir hingga perbukitan dengan kekuatan pasukan lebih dari 5000 orang. Buton mengutus beberapa Juru Bahasa dan naik di atas kapal Huis te Hanpad menanyakan maksud kedatangan mereka.
Rijsweber memberi jawaban untuk singgah mengambil air minum dan kebutuhan lainnya dan melanjutkan perjalanan ke Maluku. Sekembalinya utusan Buton, Rijswebwer naik ke darat mengenakan pakaian Matros Kapal menyelidiki kekuatan Buton dan benar banyak pasukan namun tidak memiliki persenjataan yang luar biasa.
Rijsweber memerintahkan pendaratan pasukan pada pukul 00.00 dan pukul 05.30 seluruh pasukan Belanda dalam posisi bergerak menyerang menuju Benteng Keraton Buton. Pasukan Belanda dibagi dua arah yaitu arah Lawana Lanto dan Lawana Wandailolo (pintu/nama pintu masuk benteng) serta arah Lawana Labunta.
Penjaga pintu benteng dibuka pada pukul 06.00 dan seketika itu pula pasukan Rijsweber menerobos masuk sembari melepaskan tembakan ke segala arah sasaran. Pertempuran sengit tidak dapat terelakan lagi.
Himayatuddin memimpin langsung pasukan didampingi Panglima Perang Kapitalau La Sangkuabuso, Bonto Ogena dan Sapati. Dengan semangat Jihad Fiy Sabilillah dan pekikkan Allahu Akbar, Himayatuddin semakin membakar semangat pasukan Buton melawan gempuran Belanda. Sultan Sakiyuddin yang menggantikan Himayatuddin turut pula bertempur dan mempertahankan istananya.
Untuk memecah konsentrasi pasukan Belanda maka Lakina Sorawolio menyerang kapal-kapal Belanda yang berlabuh. Baik Laskar Buton maupun Belanda saling berguguran. Melihat persenjataan yang tidak berimbang, Himayatuddin meminta Sultan Sakiyuddin beserta keluarganya mengundurkan diri ke Benteng Sorawolio (benteng yang berada diseberang lembah Benteng Keraton- arah Timur).



Discussion about this post