Praktik politik uang secara terstruktur, sistematis, dan massif merupakan wujud dari praktik liberalisasi dalam Pemilu. Kemudian dijadikan alasan menggugat MK RI untuk mengubah sistem proporsional terbuka menjadi tertutup sebagai bukti rendahnya kualitas para politisi kita. Seharusnya seluruh praktik liberalisasi Pemilu yang diperangi, para pelakunya ditangkap, bukan sistem Pemilu yang diubah.
Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah perhimpunan dan pergerakan rakyat yang bersifat nasional memastikan bahwa agenda Kornas berbeda dengan kelompok Parpol pendukung proporsional terbuka. Kornas berjuang untuk kepentingan jangka panjang dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Sementara kelompok Parpol tersebut hanya untuk kepentingan jangka pendek, yakni Pemilu 2024.
Dengan demikian, perkara nomor: 114/PUU-XX/2022 yang salah satu pasal yang dimohonkan yakni Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang berbunyi: “Pemilu DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”, yang dimohonkan Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem) kepada MK RI harus ditolak.
MK RI sebagai produk reformasi tidak boleh melupakan sejarah. Maka MK RI berkewajiban untuk mewujudkan cita-cita reformasi yang salah satunya adalah Pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Upaya untuk mengembalikan Pemilu dengan sistem proporsional tertutup merupakan penghianatan terhadap reformasi dan akan merusak bangsa ini.
Perjalanan sejarah bangsa ini tidak boleh mundur. Maka MK RI dan KPU RI diminta untuk tetap menjaga kepercayaan seluruh rakyat Indonesia. Kedua lembaga negara tersebut diminta untuk tidak terpengaruh dengan tekanan politik dari pihak manapun yang ingin membuat bangsa ini berjalan mundur, kembali ke Orde Baru.
Discussion about this post