Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Mahkamah Konstitusi (MK) dikabarkan akan membacakan putusan terkait batas usia maksimal 70 tahun. Gugatan tersebut akan menentukan apakah bakal calon presiden (bacapres) koalisi Indonesia Maju (KIMa), sebagai bacapres produk cawe-cawe Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat maju atau tidak.
Meski hasilnya dapat diperkirakan akan sebangun dengan putusan demi Gibran yang diputuskan pekan lalu, namun MK perlu diingatkan agar Gibran tetap dapat maju.
MK Bukan Mahkamah Keluarga
Belum lama berselang, 8 Fraksi DPR RI, minus Fraksi PDIP menggelar konferensi pers dengan sejumlah ancaman terhadap MK atas provokasi Denny Indrayana terkait putusan sistem Pemilu, terbuka menjadi tertutup. Saat itu telunjuk semua partai diarahkan kepada PDIP yang dituduh akan melakukan intervensi terhadap putusan.
Saat itu nyaris tidak ada pihak yang berani membela MK, bahkan berbagai ancaman terbuka pun disampaikan. Begitupun tidak ada yang mengubah nama MK menjadi Mahkamah Keluarga, atau sebutan lain seperti saat mengadili perkara Pilkada atau Pilpres dimana MK disebut Mahkamah Kalkulator.
Sebagai lembaga produk reformasi, yang diperjuangkan para aktivis pro demokrasi yang hasilnya kini dinikmati Gibran, MK sejatinya lembaga negara yang bebas dari pengaruh apapun. Maka sebagai lembaga negara yang menjamin tegaknya konstitusi dan hak konstitusional warga negara, tidak tepat kalau MK diolok-olok dengan berbagai nama plesetan.
Discussion about this post