Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Beberapa waktu yang lalu, sejumlah kepala desa (kades) di Pulau Madura, Jawa Timur, menyatakan akan menghabisi suara partai politik (parpol) di pemilu 2024 yang menolak penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
“Suara Parpol di pemilu 2024 nanti yang tidak mendukung masa jabatan kades jadi 9 tahun akan kami habisi,” kata Farid Afandi, kades Tentenan Timur, Larangan, Pamekasan, Madura, Jumat (20/1/2023).
Farid mengklaim seluruh kades di Madura yang terlibat aksi demonstrasi di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta sekitar 800 kades. Menurut Farid dari jumlah tersebut memberi pesan bahwa di Pemilu 2024 nanti kades punya pengaruh besar terhadap suara dan keberadaan parpol dalam meraih suara pemilih di desa.
Revisi UU Desa Jadi Super Prioritas
Ancaman para kades tersebut berbuah cepat, disambut lagu setuju dari paduan suara DPR RI. Meski tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas), kini badan legislasi (baleg) DPR RI mulai membahas revisi UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.
Selain perubahan masa jabatan yang semula 6 tahun diubah menjadi 9 tahun, DPR juga menawarkan hadiah menjelang Pemilu 2024 berupa penambahan besaran dana desa dari 1 miliar rupiah menjadi 2 miliar rupiah.
Senada dengan DPR, Komisaris BUMN PTPN V, Budiman Sudjatmiko mengklaim Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah menyetujui perpanjangan masa jabatan kades. Hal tersebut disampaikan Budiman setelah bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Selasa (17/1/2023).
Budiman menjelaskan alasan konflik di desa selalu terjadi pasca Pilkades. Sehingga butuh waktu dua hingga tiga tahun untuk pemulihan. Maka dibutuhkan tambahan waktu agar para kades dapat bekerja selama 6 tahun. Alasan konflik menjadi alasan tunggal Budiman mempengaruhi Jokowi hingga akhirnya setuju perubahan UU Desa.
Parpol Merusak Pilkades
Sejak Indonesia melaksanakan sistem Pemilu terbuka, maka rakyat terkadang penting bagi para politikus dan parpol. Semua parpol berlomba memperluas pengaruh dengan mempersiapkan calon-calon kades.
Parpol akhirnya tergoda ikut bertarung dalam perebutan jabatan kades. Ironisnya parpol justru menularkan berbagai penyakit buruk dalam pilkades. Terjadinya politik uang, eksploitasi ikatan-ikatan primordial menjadi kenyataan buruk pilkades pasca reformasi setelah dicampuri parpol.
Alokasi dana desa dalam APBN dianggap sebagai “jasa parpol”, maka para kades “terpaksa” berafiliasi kepada Parpol, baik sebagai kader maupun simpatisan. Demikian juga dengan berbagai persoalan hukum yang selalu muncul akibat lemahnya pemahaman dalam tata kelola anggaran dana desa.
Para kades dan perangkat desa yang masih “amatir” sering mengalami persoalan hukum. Maka para kades memilih “berteman baik” agar mendapat “perlindungan dari parpol”.
Perpanjangan Masa Kerja Kades Sesat
Sebagai respon atas kesesatan berpikir parpol secara kolektif di DPR RI yang menawarkan solusi pragmatis dan oportunis tersebut, maka Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:
Pertama, bahwa sebelum sistem pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, Indonesia telah melaksanakan pemilihan kepala desa (Pilkades) secara langsung. Sebelum reformasi, meskipun ada konflik dalam proses pilkades, hal tersebut dianggap sebagai dinamika demokrasi. Tidak terjadi konflik berkepanjangan yang membutuhkan waktu untuk pemulihan.
Kedua, bahwa konflik dalam pilkades belakangan ini dipastikan sebagai akibat pengaruh buruk dari parpol yakni politik uang dan eksploitasi ikatan-ikatan primordial. Sehingga untuk menghilangkan konflik berkepanjangan, parpol yang seharusnya dilarang terlibat dalam Pilkades baik langsung maupun tidak langsung.
Discussion about this post