Oleh: Fitri Suryani
Belum lama ini Partai Buruh membawa 18 tuntutan dalam aksi May Day Fiesta yang dihelat di Gedung DPR dan Gelora Bung Karno (GBK) pada Sabtu (14/5). Di antaranya berupa redistribusi kekayaan serta penolakan terhadap UU Cipta Kerja.
Tuntutan utama yang akan disuarakan adalah penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut Said Iqbal selaku Presiden Partai Buruh, aturan hukum tersebut mengeksploitasi buruh.
Tuntutan lainnya yaitu mendesak pemerintah menurunkan harga bahan pokok termasuk minyak goreng; mendesak RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) disahkan, menolak revisi UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) dan menolak revisi UU Serikat Kerja/Serikat Buruh.
Lalu penolakan atas upah murah, penghapusan outsourcing, penolakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan desakan agar Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perlindungan Anak Buah Kapal (ABK) dan Buruh Migran disahkan.
Kemudian penolakan pengurangan peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK), wujudkan kedaulatan pangan dan reforma agraria, setop kriminalisasi petani, serta biaya pendidikan murah dan wajib belajar 15 tahun gratis.
Selanjutnya meminta pemerintah mengangkat guru dan tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), pemberdayaan sektor informal, ratifikasi konvensi ILO No. 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di dunia kerja, mengupayakan status sopir ojek online sebagai pekerja, bukan lagi mitra kerja.
Said mengatakan pada aksi nanti juga akan meminta kepastian agar Pemilu 2024 dilaksanakan tepat waktu, redistribusi kekayaan yang adil dengan menambah program jaminan sosial (jaminan makanan, perumahan, pengangguran, pendidikan dan air bersih), dan meminta pemerintah mengupayakan agar tidak ada lagi warga yang kelaparan (Cnnindonesia.com, 13/05/2022).
Dari itu, sungguh tuntutan buruh terkait kesejahteraan meraka tentu bukan kali ini mereka sampaikan, namun hal itu telah berlangsung sejak lama yang mana dari tahun ke tahun hal itu mereka sampaikan secara berulang-ulang.
Sayangnya apa yang mereka harapkan hingga saat ini belum menemukan titik terang yang mampu membuat hati lega dan kehidupan sejahtera.
Hari Buruh itu pun lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja (Wikipedia).
Dalam peringatan Hari Buruh ini juga, masalah kesejahteraan buruh yang sering kali menjadi sorotan, seperti persoalan upah yang mereka suarakan saat hari buruh seakan tak pernah terlewatkan. Begitu juga persoalan-persoalan lain yang nampak tak berpihak pada buruh.
Kalau sudah seperti itu, harus sampai kapan mereka menyuarakan harapan mereka agar dapat terealisasi, sehingga mereka dapat hidup sejahtera?
Selain itu, bahwasanya problematika buruh yang ada saat ini merupakan konsekuensi dari penerapan ekonomi politik kapitalisme. Dalam hal ini buruh dan upah merupakan salah satu faktor penyumbang biaya produksi. Sehingga para pengusaha akan berusaha meminimalisir upah buruh dan tidak menutup kemungkinan memilih untuk menggunakan sistem outsourching untuk menghindari cost lebih.
Discussion about this post