Di kampung-kampung tua itu, telah hidup enam generasi warga Rempang di dalam rumah-rumah kecil beratapkan seng yang berjajar di bahu jalan kecil beraspal tak rata. Ratusan tahun mereka hidup damai bersama alam yang indah; bukit-bukitnya hijau, lautnya biru.
Kehidupan yang damai itu seketika pergi, karena tanah yang telah mereka huni ratusan tahun tersebut, dimana bersemayam jasad para orang tua, kakek nenek leluhur mereka, akan digusur oleh negara, atas nama proyek pemerintah triliunan rupiah, lewat pembangunan pabrik kaca terbesar kedua di dunia, oleh perusahaan China.
Presiden Jokowi tidak hanya kehilangan akal, namun juga nuraninya sendiri. Ia bahkan telah melanggar sumpahnya sebagai Presiden, “Demi Allah saya bersumpah, akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden RI dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD 45 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Di Rempang, keadilan telah lenyap. Di mata presiden, masyarakat Rempang dengan sejarah dan peradaban Melayunya yang telah berusia ratusan tahun, dianggap tidak penting. Investor lebih penting. Masalah dianggap remeh oleh pemerintah, mereka bilang “ini hanya masalah komunikasi”, bahkan menakut-nakuti dengan “kita akan bulldozer yang menghalangi”, “kita akan piting satu-satu”.
Sebagian lain bersikap apologi dengan mengatakan “ini bukan penggusuran tapi pengosongan”, atau “mereka tidak punya sertifikat”. Sekali lagi, masihkah ada hati nurani di antara mereka?
Discussion about this post