Oleh: Hasriyana, S.Pd
Indonesia kini darurat judi online, bukan hanya di kalangan orang dewasa saja, namun hal ini juga sudah dilakukan oleh anak-anak. Kalau sudah begini siapa yang harus disalahkan? Mengingat bukan hanya peran keluarga yang menjadi penyebab terjadinya judi online makin merajalela di dunia maya, peran negara pun tidak kalah penting untuk memblokir semua aplikasi ataupun situs yang terindikasi judi.
Sebagaimana dikutip dari Okezone (28-11-2023), judi online tidak hanya menjerat orang dewasa, tapi anak di bawah umur juga bisa menjadi terpengaruh adanya judi online. Data terbaru menyebutkan judi online di kalangan pelajar marak terjadi.
BBC Indonesia menyebutkan laporan terbaru PPATK menemukan 2,7 juta orang Indonesia terlibat judi online – sebanyak 2,1 juta di antaranya adalah ibu rumah tangga dan pelajar – dengan penghasilan di bawah Rp100.000. Pelajar yang disebut adalah anak-anak dengan jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA dan mahasiswa.
Pasalnya saat ini untuk pasang taruhan atau deposit uangnya tak perlu besar. Cukup dengan Rp10.000 sudah bisa berjudi. Cara deposit pun makin gampang, bisa dengan kirim pulsa, dompet elektronik, uang elektronik, bahkan QRIS. Adapun, transaksi judi online sejak 2017 sampai 2023 mencapai lebih dari Rp200 triliun, menurut data PPATK.
Menurut Budi Arie selaku Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Menkominfo RI) mengatakan, saat ini Indonesia sedang darurat judi online. Sudah banyak anak-anak dan remaja yang menjadi korban judi online. Dikutip dari laman Kemendikbudristek, Selasa (28/11/2023), bermain judi online memiliki dampak negatif pada anak-anak.
Dengan banyaknya anak dan remaja menjadi korban dari judi online, ini membuktikan bahwa makin rusaknya generasi saat ini. Bahkan bukan hanya melanggar norma agama dan hukum, namun juga memiliki dampak negatif bagi anak. Salah satunya gangguan kesehatan fisik, jika anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di depan layar gawai maka aktivitas fisik akan menurun sehingga kemungkinan akan malas untuk bergerak.
Bahkan bukan hanya itu, anak yang kecanduan judi online akan besar kemungkinan menggunakan harta orang tuanya pada judi tersebut. Hal tersebut diungkap Komisioner KPAI Sub Klaster: Anak Korban Cybercrime, Kawiyan yang mengatakan bahwa yang lebih berbahaya lagi anak-anak yang terlibat judi online berpotensi menyalahgunakan uang orang tua, bahkan tidak tertutup kemungkinan ia akan berusaha mendapatkan uang dari manapun, termasuk dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh hukum (CNBCindonesia, 21-09-2023).
Pun, keluarga juga bisa menjadi salah satu penyebab anak ikut-ikutan melakukan judi online, sebab melihat orang tuanya seperti demikian. Bukankah anak adalah peniru ulung paling cepat. Mirisnya betapa banyak orang tua saat ini secara tidak langsung menjadi contoh buruk bagi anak-anaknya. Sebagai contoh karena seringnya anak melihat orang tuanya bermain judi di rumahnya, akhirnya anak tersebut pun mengajak teman sebayanya berjudi. Jika demikian faktanya maka siapa yang harus bertanggung jawab?.
Peran negara juga ikut andil dari banyaknya anak yang melakukan judi online. Seharusnya negara bisa lebih jeli melihat mana aplikasi game atau situs yang memang kemungkinan terindikasi judi online. Sebab, jika aplikasi tersebut masih ada dan tidak dihapus oleh pemerintah maka kemungkinan besar masih akan banyak anak-anak Indonesia yang terlalaikan dengan judi.
Hal ini berbeda jauh dengan sistem Islam, di mana dalam Islam negara akan melakukan filter tayangan dan apa yang bisa diakses oleh masyarakat. Jadi masyarakat tidak akan bisa seenaknya mengakses sesuatu informasi terlebih hal itu berbau kemaksiatan. Sehingga tidak akan kita dapatkan anak-anak yang terindikasi judi online. Karena semua informasi betul-betul disaring oleh departemen penerangan.
Selain itu, negara akan menanamkan tsaqofah Islam pada masyarakat. Dengan akidah tersebut masyarakat akan merasa takut melakukan kemaksiatan dan merasa diawasi oleh Allah SWT. Sehingga dengan keyakinan tersebut akan kecil kemungkinan masyarakat melakukan kemaksiatan, sebab akidah Islam telah terinternalisasi dalam jiwa-jiwa mereka.
Di sisi lain negara juga akan menerapkan aturan dan memberikan hukuman yang mampu memberi efek jera pada setiap orang yang melanggar norma yang berlaku. Dengan begitu akan sedikit masyarakat yang melanggar aturan agama.
Dengan demikian, kita tidak bisa banyak berharap pada sistem saat ini yang hukumannya terlihat belum mampu menjerakan. Pun upaya preventifnya masih minim. Olehnya itu, kita hanya bisa berharap pada sistem Islam yang aturannya berasal dari pencipta yaitu, Allah SWT. Wallahu a’lam.(***)
Penulis adalah Pemerhati Sosial Asal Konawe
Jangan lewatkan video populer:

Discussion about this post