<strong>Oleh: Rusdianto Samawa</strong> "Saya ke Lombok hadir mediasi dan dialog antara Kepolisian, DKP Prov. NTB, PSDKP NTB, Pemprov NTB dan Organisasi/Paguyuban Nelayan atas penangkapan 11 nelayan tangkap Sape Bima yang berada dibawah pembinaan Serikat Nelayan Bima (SNB)." Amanat konstitusi Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dengan tiga prinsip penting dalam menumbuhkan perekonomian nasional termasuk perikanan. Keberadaan LPMUKP sebagai satuan kerja dalam lingkup Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) yang diberi tugas melakukan kegiatan pengelolaan modal usaha khusus untuk UMKM yang bergerak disektor Kelautan Perikanan. Dananya bersumber dari Kementrian Kelautan Perikanan. Belum menuntaskan penurunan angka kemiskinan ekstrem diberbagai wilayah pesisir Indonesia. Ada 6 unit usaha yang boleh mendapat pinjaman lunak dari LPMUKP yakni Nelayan, Budidaya, Pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, Usaha Garam rakyat dan Wisata bahari dan Kedai pesisir. Besaran anggunan 30% tentu sangat menyulitkan nelayan dan pembudidaya untuk mendapatkan dana itu. Mestinya, dana MUKP dibebaskan dari berbagai tanggungan sehingga usaha nelayan dapat berkembang lebih baik. Satu sisi KKP menantang keseriusan nelayan dan pembudidaya untuk mendapatkan kucuran dana. Sisi lain, tidak memudahkan proses, terkesan tertutup. Selama ini, dana tersebut hanya diperuntukan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan besar, yang dikelompokkan berdasarkan omzet dan asset secara keseluruhan. Mestinya diberikan pada organisasi dan kelompok nelayan yang memiliki basis penangkapan ikan yang jelas. Data UMKM kecil dan menengah sekitar 5.460 kategori usaha besar yang sekitar 30% dibiayai oleh dana UMKP. Adapun usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM sebanyak 62.922.617 unit sekitar 40% dibiayai dari UMKP. Jumlah itu berdasarkan data yang dihimpun dan diolah Kementerian Koperasi dan UKM serta Badan Pusat Statistik. Namun, seberapa besar kelompok nelayan masuk dalam persentase pembiayaan tersebut?. Tidak ada yang tau. Jawabannya ada pada KKP. Tetapi, kalau dilihat dari persentase kemiskinan ekstrem di pesisir Indonesia yang masih tinggi. Maka, kucuran dana UMKP tersebut, tidak berdampak sama sekali untuk kesejahteraan nelayan dan pembudidaya. Indikator bahwa dana UMKP itu tidak tepat sasaran, bahwa usaha mikro sebagai jenis usaha terkecil yang ada di data pemerintah, memiliki omzet per tahun sampai dengan Rp300 juta. Adapun asetnya maksimal Rp50 juta. Kategori ini berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Artinya, Hanya dilihat dari kemampuan modal untuk membiayai usaha agar kredit tidak macet. Hal inilah yang tentang dalam proses program kucuran dana UMKP tersebut. Artinya, nelayan dan pembudidaya tidak mendapatkan akses secara langsung dari negara akibat cara pandang kapitalis. Sama UMKP tidak berniat membangkitkan kemampuan nelayan dalam melaut. Tak habis pikir, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyalurkan pembiayaan dengan menggandeng perusahaan teknologi finansial. Metode ini, nelayan dan pembudidaya tidak mengerti dan nol informasi. Kerjasama dengan startup (perusahaan teknologi finansial) menetapkan bunga pinjaman 4 persen per tahun. Padahal harapannya, memudahkan akses pinjaman untuk tingkatkan usaha dan peran terhadap perubahan jalan ekonomi dan kesejahteraan disekitarnya. Lebih tidak beres lagi, KKP melirik perusahaan dan/atau CV memberikan modal, seperti galangan besar yang pondasi modal usaha sudah capai hasil Rp1 Miliar pertahun dan sudah potong (upah) pegawai dan operasional. Inilah, kedhoifan sistem dana MUKP dengan memberikan modal kepada usaha yang sudah tumbuh lebih baik. Padahal MUKP itu bersumber dari PNBP yang ditarik dari nelayan. Cobalah kedepan merubah sistem pengelolaan yang berbasis pada komunitas nelayan murni. Bukan ada usaha-usaha tengkulak yang dibiayai. Perlu perhatian bersama untuk meletakkan pondasi kuat dalam menumbuhkan distribusi hasil tangkapan nelayan dan pelaku budidaya. Apabila masih menganut sistem manajemen sekarang, maka dipastikan dana tersebut masih sebatas p penghamburan keuangan negara. Persentase pemberian modal usaha, hanya di pulau Jawa hampir 90%. Diluar pulau Jawa masih rendah, hanya sekitar 10 %. Faktor ini karena doktrin mayoritas nelayan ada di Jawa. Padahal tidak seperti itu. Tentu nelayan-nelayan luar pulau Jawa, membutuhkan dana segar tanpa anggunan untuk membangun usaha-usahanya sehingga masa mendatang dapat bangkit, seiring kemiskinan ekstrem pesisir bisa diatasi. Terutama nelayan-nelayan yang berada di wilayah perbatasan antar negara yang harus diperhatikan sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Lagi pula, tumbuh bersama dan sukses bersama. Perbatasan memiliki peluang besar, sekaligus tantangan dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas ekspor dan ekonomi masyarakat Jika hal ini berjalan, maka berdampak positif pada kesejahteraan nelayan. Spirit dana MUKP yang digulirkan harus berusaha melepaskan nelayan dari rentenir. Semangat ini, belum menjadi pemikiran bersama, masih sebatas begal membegal anggaran negara untuk kepentingan pribadi. Bisa diukur dari hasil survei KKP sendiri terhadap kepuasan masyarakat dalam mengakses permodalan. Semuanya hasil tidak lebih dari 10%. Margin erornya sangat tinggi. Artinya penyaluran dana MUKP tidak maksimal dan belum berdampak baik terhadap perkembangan usaha-usaha masyarakat pesisir. Hasil survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) tahun 2021 terhadap 186 responden yang merupakan pelaku usaha di sektor kelautan dan perikanan yang mengakses modal usaha melalui LPMUKP, capaian sebesar 85,42 % kepuasan dan 89,27% kepentingan. Kemudian, tahun 2022 sekitar 378 sampel responden, capaian sebesar 3,39% puas dan 3,52% kepentingan. Nilai tersebut dikategorikan BAIK oleh KKP. Padahal hitung hasil survei harus sebanding antara jumlah responden, pemakaian dana dan akses dana. Hasil survei mestinya 1000:1200 kepala keluarga nelayan untuk melihat secara objektif. Kita bisa hitung sendiri dari hasil survei kepuasan diatas. Hasil survei tersebut, dianggap metode pencitraan dan marketing agar program tersebut berjalan terus. Walaupun sistemnya rusak. KKP sudah mesti kembali pada konstitusi, perlu keberpihakan pada keberlanjutan sektor perikanan tangkap, sekaligus keberpihakan kepada nelayan skala kecil.untuk melakukan perlindungan ekosistem yang efektif, produksi atau pemanfaatan ekonomi kelautan secara berkelanjutan, dan penyejahteraan atau pendistribusian manfaat untuk rakyat secara merata.(<strong>***)</strong> <strong>Penulis: Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI), Menulis saat Flight BatikAir ID5656 05 Juni 2023 Jakarta-Lombok, NTB</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://www.youtube.com/watch?v=tJ-DBSGFN6I
Discussion about this post