Oleh: Syamsir Datuamas
Menyoroti keputusan pemecatan lima anggota DPR RI yang ucapannya melukai hati rakyat. Polemik ini menyeret tiga partai besar PAN, NasDem dan Golkar yang mengambil tindakan dengan menerbitkan surat resmi. Namun publik tidak sepenuhnya puas.
Mengapa publik tidak puas? Karena istilah nonaktif yang digunakan sebagian pihak menilai justru dianggap sebagai (jalan tengah) yang tidak menyentuh pada substansi.
Banyak teman-teman pengamat menilai, nonaktif hanyalah (jeda sejenak), bukan sanksi permanen. Kita sebagai rakyat bisa saja melihatnya sebagai bagian dari strategi partai untuk meredam kemarahan publik tanpa benar-benar menuntaskan persoalan.
Seharusnya partai politik bisa lakukan PAW kepada anggota atas desakan rakyat. Tentu kepada yang bersangkutan seperti Ahmad Syahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, Ardie Kardi dan Nafa Urbach.
Dalam logika politik yang sehat, langkah etik semestinya jelas. Apabila ada salah satu anggota DPR melanggar norma atau menyakiti konstituen, partai harus berani mengambil sikap final.
Mekanismenya adalah Pergantian Antar Waktu (PAW) sudah diatur dalam Undang-undang dan menjadi instrumen konstitusional untuk mengganti wakil rakyat yang kehilangan legitimasi moral maupun politik.
Sebagaimana Robert A. Dahl seorang ilmuwan politik menegaskan bahwa akuntabilitas adalah syarat utama demokrasi, tanpa pertanggungjawaban, representasi hanyalah ilusi.
Seharusnya mekanisme PAW merupakan instrumen konstitusional untuk memastikan bahwa kursi legislatif tidak dikuasai oleh individu yang kehilangan legitimasi moral maupun politik.
Discussion about this post