Oleh: Akmal Nasery Basral
SATU hari di pertengahan 2021 lalu, Mbak Ikit—panggilan saya kepada Hernani Sirikit Syah—mengontak, “Uda Akmal, saya ingin menerbitkan kumpulan cerpen. Apakah Uda bersedia memberikan testimoni?” Tentu saja saya bersedia. Mbak Ikit jurnalis senior hampir satu dekade di atas saya dan dikenal juga sebagai penyair. Sehingga ketika dia memberikan saya kesempatan untuk membaca naskah, itu merupakan satu kehormatan.
Kumcer berjudul Lelaki dari Masa Lalu yang terdiri dari 17 cerpen itu terbit pada Agustus 2021 dengan saya dan Dewi “Dee” Lestari sebagai pemberi endorsement di sampul belakang. Salah satu cerpen pada antologi itu yang berjudul “Perempuan Suamiku” terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik Kompas 1999.
Sebetulnya tadi pagi–pukul 07.15 WIB–saya mendapat miscall dari Mas Chairul Anam, suami Mbak Ikit, yang mengulangi lagi panggilan empat menit kemudian. Namun saya tetap tak bisa menerima panggilan karena sedang terlelap setelah semalaman melek sampai subuh. Saat terbangun dua jam kemudian, lini masa saya sudah penuh kabar duka cita wafatnya Mbak Ikit.
Pikiran saya spontan mengembara ke dalam sebuah larik sajak karya Mbak Ikit. “Dan ketika kau buka matamu/aku mungkin sudah akan tiada.” (“Aku Ingin Menjadi Malam”, 2001).
Sajak itu tentu saja bukan ditulis untuk saya. Namun kesamaan kondisi yang saya alami dengan napas sajak membuat saya terperenyak. Innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Di salah satu WAG, seniman-budayawan Jaya Suprana menulis, “Saya berbelasungkawa atas wafatnya Ibu Sirikit. Bangsa Indonesia kehilangan seorang penulis yang berpihak ke kaum tertindas.”
Saya baru bertukar kabar dengan Mas Anam kemarin pagi (Senin, 25/4) yang mengabarkan kondisi terkini Mbak Ikit.
“Menurut dokter semakin menurun karena penyebaran Ca-nya, antara sadar dan tidak. Mohon disampaikan kepada kawan-kawan terima kasih tak terhingga kami atas sumbangsihnya dan memohon untuk bisa memaafkan dengan ikhlas segala kesalahan Ibu Hernani Sirikit selama ini.”
Beberapa tahun ini Mbak Ikit memang berjuang keras melawan kanker hati yang dalam pekan-pekan terakhir sudah menyerang empedunya, membuat ibu dua anak dan nenek tiga cucu ini harus dirawat RS Haji Surabaya. Dalam proses pengobatan, beliau sedikitnya sudah menjalani 8-9 kemoterapi atau bahkan lebih banyak lagi.
Komunikasi kami dua tahun terakhir cukup intens, meski kami belum pernah bertemu dan bicara tatap muka. Awalnya, saya mengenal Mbak Ikit melalui tulisan-tulisannya di mailing-list Jurnalisme yang dikelola admin Farid Gaban, Dandhy Dwi Laksono, dan Suwandi Ahmad, sekitar tahun 2012.
Mbak Ikit termasuk anggota yang aktif posting di milis itu. Dia acap berbagi pengalaman membangun The Brunei Times dan menjadi wakil pemimpin redaksi harian di negeri jiran tersebut. Sementara sebagai kritikus sosial dan penulis opini, pendapat-pendapatnya selalu tajam tanpa takut dalam mengkritisi rezim dan policy yang dijalankan.
Saya baru mengerti mengapa Begawan Sastra Indonesia, Prof. Dr. Budi Darma (1937-2021) dalam obrolan dengan saya di awal tahun 2000-an pernah memuji Mbak Ikit sebagai muridnya yang hebat.
“Bakat Sirikit sebagai prosais sangat besar. Tapi tampaknya dia lebih menyukai dunia jurnalisme dan menulis sajak. Tidak apa-apa juga,” ujar Pak Bud. “Kemampuan menulisnya itu sangat membantu karier jurnalistiknya.”
Waktu itu Mbak Ikit juga menjadi penerjemah. Salah satu buku yang dialihbahasakannya ke dalam bahasa Indonesia adalah Biografi Muhammad karya Karen Armstrong yang menjadi global best seller. Setahun kemudian, Mbak Ikit menerjemahkan karya David T. Hill dan Krishna Sen dengan judul Budaya, Media, dan Politik di Indonesia.
Kemampuan menulis dan menerjemahkan bahasa Inggris dimatangkannya saat menjadi mahasiswa pascasarjana di University of Westminster, London, Inggris (2002). Setelah itu dia malang melintang magang dan bekerja di beberapa media massa di negeri tempatnya menuntut ilmu dan Amerika Serikat. Sedangkan gelar doktor ilmu bahasa diraihnya dari Universitas Negeri Surabaya melalui disertasi berjudul “Naming and Labelling in Terrorism News Report” (2018).
Mbak Ikit sudah melangkah jauh dari awal kariernya sebagai wartawati Surabaya Post (1984-1990, 2007), SCTV-RCTI Biro Surabaya (1990-1996), dan The Jakarta Post (1996-2000). Di tahun 1999, Mbak Ikit mendirikan Lembaga Media Watch dan belakangan Sirikit School of Writing (2012).
Di luar kiprah sebagai jurnalis, Mbak Ikit aktif bertungkus lumus dengan komunitas seniman Surabaya. Dia pernah menjadi Ketua Bengkel Muda Surabaya, Ketua Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya, dan Ketua Presiden Dewan Kesenian Surabaya. Sampai akhir hayatnya ketika kondisi kesehatannya sudah menurun jauh, Mbak Ikit tetap aktif sebagai penasihat/pembina di Bengkel Muda Surabaya dan Dewan Kesenian Surabaya.
Discussion about this post