<strong>Oleh: Yuni Damayanti</strong> Tunjangan Hari Raya (THR) biasanya memberi kegembiraan bagi penerimanya. Beda halnya tahun ini, pekerja mulai resah dengan kabar pemotongan lewat pajak THR yang lebih tinggi. Terlebih perhitungan pajak tunjangan yang datangnya setahun sekali itu akan dilakukan penyesuaian lewat mekanisme baru. Dalam buku Cermat Pemotongan PPh pasal 21/26 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) disebutkan, perhitungan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 pada bulan diterimanya THR dihitung berdasarkan skema tarif efektif rata-rata (TER). TER terbagi atas Tarif Efektif Bulanan dan Tarif Efektif Harian. Tarif Efektif Bulanan dikategorikan berdasarkan besarnya penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai status perkawinan dan juga jumlah tanggungan wajib pajak pada awal tahun pajak. TER Efektif Bulanan terbagi menjadi kategori A, kategori B, kategori C. Sedangkan Tarif Efektif Harian ditetapkan khusus pegawai tidak tetap. Sebagai gambaran untuk kasus wajib pajak menerima THR, dengan metode penghitungan PPh pasal 21 sebelum TER, maka pemberi kerja akan melakukan dua kali penghitungan dengan tarif pasal 12 yaitu PPh 21 untuk gaji dan PPh 21 untuk THR. Sedangkan dengan penerapan TER, maka pemberi kerja tinggal menjumlahkan gaji dan THR yang diterima pada bulan bersangkutan dikali tarif sesuai table TER. Sehingga wajar jumlah PPh pasal 21 yang dipotong pada bulan diterimanya THR akan lebih besar dibandingkan bulan-bulan lainnya, (tirto.co.id,28/03/2024). Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat di Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, mengatakan bahwa TER tidak menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Beban pajak kumulatif seseorang selama setahun akan tetap sama. Namun, bagi pekerja, besarnya pajak pada bulan Maret saat menerima THR tentu sangat terasa karena jumlahnya melonjak dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan uang THR sangat diperlukan untuk keperluan mudik, beli sembako dan lain lain, dengan demikian potongan pajak yang melonjak akan mengurangi banyak umlah THR. Penerapan pajak atas THR merupakan praktik perekonomian khas kapitalisme. Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai pemasukan utama Negara. Hal ini tampak pada besarnya porsi penerimaan pajak dibandingkan dengan penerimaan dari sumber lainnya. Pada 2023, realisasi pendapatan Negara mencapai Rp2.774,3 triliun. Adapun penerimaan perpajakan mencapai Rp2.155,4 triliun atau 77%. Sedangkan nilai penerimaan pajak (PNPB) pada 2023 hanya Rp605,0 triliun atau 21%. (Katadata,3/1/2023). Di dalam PNPB tersebut terdapat pos pendapatn SDA yang jumlahnya lebih kecil lagi. Ini tentu miris, mengingat Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang luar biasa melimpah tetapi penerimaan dari SDA sangat minim, sedangkan mayoritas PNPB berasal dari pajak yang diperoleh dari setoran rakyat pada Negara. Mengapa pemerintah fokus menggenjot penerimaan dari pajak, apakah pemerintah hanya bertugas sebagai pemungut pajak? Padahal pengelolan SDA dengan benar akan mampu mencukupi PNPB. Berbeda dengan sistem kapitalisme, dalam konsep keuangan Islam, pajak bukanlah merupakan pos pendapatan utama sebuah negara. Pajak (dharibah) hanyalah pos darurat yang akan dipungut oleh negara kepada warga negara tertentu jika keuangan negara dalam kondisi kritis, dalam Islam negara memiliki banyak sumber pemasukan. Pos pendapatan pertama, bagian fa’i dan kharaj. Mencakup seksi (ghonimah, fai dan khumus) seksi kharaj, seksi status tanah, seksi jizyah, seksi fa’I dan seksi dharibah (pajak). Kedua, bagian pemilikan umum meliputi, migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan mata air, hutan dan padang rumput, dan aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Ketiga, bagian sedekah, meliputi zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan zakat peternakan. Pemimpin Negara akan mengoptimalkan pengolahan sumber daya alam milik umum dan pungutan yang tidak memberatkan seperti zakat mal, jizyah, kharaj dan lainya. Dari semua pos pemasukan itu Negara akan mendapatkan pemasukan yang besar sehingga tidak perlu menarik pajak. Dharibah (pajak) hanyalah pemasukan yang bersifat insidential, tidak terus menerus. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya ketika kas Negara kosong, sedangkan ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. Oleh karenanya, pajak bukanlah sumber pendapatan negara utama sebagaimana yang terjadi di sistem kapitalisme saat ini. Pemimpin Negara tidak akan memungut pajak dari seluruh rakyatnya (kaya maupun miskin) secara terus menerus, sebagaimana yang sedang terjadi di negeri ini sekarang. Pemimpin akan berupaya menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya sepanjang waktu, memberikan pendidikan gratis dan kesehatan gratis sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan uang lagi. Pemimpin pun akan menetapkan sistem pengupahan yang adil, yaitu pekerja mendapat upah yang layak sesuai dengan kerjanya sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, wallahu a’lam bishowab.(<strong>***)</strong> <strong>Penulis berasal dari Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://www.youtube.com/watch?v=zgWJx4bGU-4
Discussion about this post