Oleh: Siti Komariah
Kasus kekerasan perempuan dan anak (KPA) bukan merupakan hal yang tabu. Kasus ini telah menjadi PR besar bagi pemerintah beserta jajarannya. Walaupun di beberapa daerah kasusnya kian mengalami penurunan, namun hal ini belum bisa menjamin jika kasus tersebut menuai solusi pasti.
Seyogianya pemerintah beserta jajarannya telah melakukan berbagai regulasi guna mengatasi masalah ini, misalnya melakukan pembentukan badan perlindungan perempuan dan anak dan melakukan sinergitas kepada masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah daerah Bombana.
Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah melakukan koordinasi kepada pemerintah desa untuk aktif melakukan pencegahan secara terpadu yakni dengan pembentukan PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) Desa.
Penyuluh Sosial Sub Koordinator PHP DP3A Lucius Ardianto menjelaskan melalui PATBM yang didalamnya dilibatkan kepala desa dan perangkatnya serta tokoh masyarakat di 122 desa dan kelurahan di Bombana akan memiliki tupoksi khusus untuk setiap saat melaksanakan program-program atau trik-trik pencegahan tindak kekerasan sebagaimana yang marak terjadi sejak dua tahun terakhir ini (telisik.id, 6/7/2022).
Namun benarkah regulasi yang dibuat oleh pemerintah daerah dalam sistem kapitalisme saat ini mampu menjadi solusi dalam mengatasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak? Apakah kasus tersebut dapat diatasi hanya dengan melakukan sinergitas kepada masyarakat?
Tak dipungkiri jika sinergitas kepada masyarakat merupakan salah satu faktor guna menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dengan adanya kontrol masyarakat, maka apabila terjadi kasus masyarakat bisa segera melapor. Namun, kontrol tersebut tidak bisa menjadi solusi mutakhir tanpa adanya faktor-faktor yang lain yang mendukungnya.
Jika ditelisik, faktor utama terjadinya kekerasan perempuan dan anak, yakni keberadaan sistem kapitalisme yang menanggungi negeri ini merupakan sistem yang bobrok dan rusak. Sistem ini telah memisahkan agama dari kehidupan, sehingga berbagai aturan dibuat oleh manusia yang memiliki akal terbatas, dan serba kurang.
Akibatnya, berbagai problem tidak kunjung menuai solusi, bahkan kasusnya sering kali meningkat. Ditambah lagi, sistem ini telah memandulkan peran negara dalam memelihara urusan rakyatnya.
Sehingga, negara tidak mampu menegakkan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan, baik bagi pelaku maupun orang lain. Padahal, dengan adanya sistem sanksi yang tegas dan menjerakan, maka pelaku dan orang lain akan berfikir 2 kali untuk melakukan tindakan tersebut. Namun, dalam sistem ini peradilan justru bisa dimainkan bagi siapa saja yang berduit.
Begitu juga, sistem sosial yang sarat liberalisme senantiasa mewarnai negeri ini. Tidak adanya pengaturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan mereka bebas untuk bertindak, tanpa disadari hal ini juga merupakan pemicu semakin banyaknya kasus tersebut terjadi.
Apalagi, UU dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah justru senantiasa menambah daftar panjang kasus kekerasan perempuan dan anak.
Kemudian, media yang menampilkan banyaknya konten-konten yang bisa menaikkan syahwat, dan konten-konten porno beredar sangat bebas. Konten-konten tersebut mudah untuk diunduh dan ditonton oleh anak-anak dibawah umur, akibatnya tak sedikit dari mereka yang melampiaskan nafsu mereka kepada siapa saja yang mereka lihat.
Discussion about this post