Dalam politik ekonomi modern, pajak adalah simbol kekuasaan. Siapa yang berhak memungut pajak, dialah yang berkuasa. Tak heran jika negara sekuler menempatkan pajak sebagai tulang punggung anggaran. Indonesia tak terkecuali. Sekitar 80 persen pendapatan negara bersumber dari pajak.
Namun di sisi lain, korupsi dan inefisiensi birokrasi masih merajalela. Uang yang dikumpulkan rakyat lewat pajak kerap bocor lewat proyek fiktif, suap dan korupsi anggaran. Rakyat membayar dengan patuh, tapi hasilnya jarang kembali dalam bentuk pelayanan publik yang layak.
Dalam kondisi seperti ini, pajak tak lagi menjadi bentuk partisipasi warga, melainkan alat eksploitasi yang dilegalkan oleh sistem. Fiskalisme yang timpang itu menandakan kegagalan negara dalam mengelola amanah harta publik. Pajak berubah menjadi cara paling halus untuk merampas kesejahteraan rakyat.
Islam dan Konsep Fiskal yang Berkeadilan
Jika sistem sekuler gagal menegakkan keadilan fiskal, maka solusinya harus kembali pada prinsip syariah yang berlandaskan amanah. Dalam sistem ekonomi Islam, sumber utama pendapatan negara bukan pajak (dharibah), melainkan pengelolaan harta milik umum berupa tambang, energi, hutan, laut dan tanah. Semua itu hak umat, bukan milik swasta.
Negara tidak dibenarkan memungut pajak, jika kebutuhan dasar rakyat belum terpenuhi. Khalifah Umar bin Khaththab bahkan menolak mengambil pajak pada masa paceklik, karena menzalimi rakyat bertentangan dengan syariat.
Pajak hanya boleh dikenakan dalam keadaan darurat, misalnya ketika kas baitul mal kosong, sementara negara harus menunaikan kewajiban syar’i seperti jihad atau penanganan bencana. Itupun hanya dibebankan kepada kaum Muslim yang kaya, bukan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu.
Dengan demikian, fiskal dalam Islam dijalankan berdasarkan amanah dan tanggung jawab, bukan pemaksaan. Negara tidak boleh menekan rakyat dengan pajak bertubi-tubi, apalagi bila kekayaan alam diserahkan kepada korporasi.
Keadilan Tak Lahir dari Sistem Zalim
Pajak akan tetap menjadi alat eksploitasi yang dibungkus jargon pembangunan, selama ekonomi masih dikelola dengan logika sekuler. Program pemutihan pajak kendaraan hanya mempermanis luka fiskal yang dalam. Ia menenangkan sesaat, tapi tak menyentuh akar ketidakadilan yang sebenarnya.
Keadilan fiskal sejati hanya mungkin terwujud bila syariah dijadikan dasar pengelolaan harta. Dalam sistem Khilafah, kekayaan alam dikelola negara untuk kepentingan umat, bukan diserahkan pada segelintir korporasi. Pajak bukan sumber utama APBN, melainkan instrumen moral yang dijalankan dengan tanggung jawab dan keterbatasan hukum syar’i.
Rakyat tidak perlu menunggu “ampunan fiskal”, sebab mereka tak pernah ditindas oleh sistem yang menekan. Dalam sistem Islam, keadilan ekonomi bukan hasil kemurahan hati pemerintah, melainkan perintah Allah yang wajib ditegakkan oleh negara.
Pemutihan pajak hari ini hanyalah penawar sementara bagi penyakit sistemik. Islam menawarkan keadilan yang hakiki. Bukan karena belas kasihan penguasa, tapi sebab syariat menuntut keadilan atas setiap harta milik umat.(***)
Penulis adalah Kolumnis Publik di Sinjai
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post