Penulis yakin, Bung Karno menghendaki agar persatuan yang telah dibangun sedemikian rupa, hingga mampu memorakporandakan para penjajah, jangan tergoyahkan hingga bangsa ini kemudian tercerai berai dan saling bermusuhan. Jika kita hayati, baik ucapan Sang Dosen di atas, maupun ucapan Bung Karno, nampaknya kedua-duanya terbukti.
Pertama, dari ucapan Sang Dosen, kita dapat mengamati “gerak-gerik” dan “karakter” sebagian anak bangsa ada yang senang dan suka menjajah. Dimulai dari ambisi yang berlebihan (ambisius) untuk memenangkan diri dalam pertarungan politik, sikut kanan sikut kiri, tidak peduli cara yang digunakan halal atau haram, tidak segan-segan menyakiti teman sebangsa sendiri.
Bukan hanya “sadis” secara terang-terangan, bahkan di beberapa daerah tertentu juga ada yang main belakang dalam menyingkirkan lawannya, hingga menggunakan cara-cara klenik, santet dan sejenisnya agar dirinya saja yang menang.
Belum lagi karakter “penjajah”nya juga muncul ketika dirinya sudah berkuasa. Sikap jumawa dan angkuhnya lambat laun muncul ke permukaan. Kadang menggunakan dua jurus, rangkul dan pukul. Jika tidak bisa dirangkul, ya dipukul. Kepemimpinannya juga anti kritik. Yang berani ngeritik dicekik. Yang bisa menyanjung dijunjung.
Sebaliknya, sebagian karakter bangsa ini juga “suka dijajah”. Meski ada ketidakadilan di depan mata tapi diam saja. Takut. Jangan-jangan aku kena ciduk, jangan-jangan aku didor diam-diam, jangan-jangan aku dimutasi, jangan-jangan aku dipecat, jangan-jangan…jangan-jangan.
Ya, karakter inilah yang membuat ketidak adilan merajalela karena tidak ada lagi yang berani melarang dan menegurnya.
Baik karakter suka menjajah maupun suka dijajah, keduanya sama-sama memunculkan sikap dan karakter egois. Mau menang sendiri dan mau selamat sendiri.
Ucapan Bung Karno pun menjadi kenyataan, jika penjajah asing lebih mudah dihadapi dan dilawan karena penjajah adalah musuh yang benar-benar nyata. Peperangan pun terjadi secara berhadap-hadapan langsung. Musuhnya jelas. Tapi dengan sesama bangsa sendiri, jelas-jelas tidak jelas. Karena bisa saja di depan mata ia tersenyum (sebagai lambang kebaikan atau shodaqah), tapi di belakang menikam.
Di beberapa tempat juga terjadi, jika ada kepala daerah sebelumnya sudah membangun suatu karya tertentu berupa infrastruktur (misalnya), begitu ganti kepala daerah baru karya lama dibiarkan/diterlantarkan, bahkan ada yang tega dihancurkan.
Discussion about this post