Pertanyaannya adalah apakah Presiden akan menggunakan kewenangan atribusi menerbitkan Perpres tentang Media Sustainability? Kalau memang karena kewenangan atribusi, kenapa selama selama 24 tahun berlakunya UU Pers tidak pernah ada Peraturan Pemerintah (PP) dan atau Peraturan Presiden yang diterbitkan?
Bahkan, selama 24 (dua puluh empat) tahun umur UU Pers, bukankah penerbitan peraturan apapun oleh pemerintah terkait pers terasa dipandang dan dicurigai sebagai intervensi pemerintah terhadap kebebasan pers?
Selama 24 tahun ini seolah hanya Dewan Pers yang boleh dan dapat menerbitkan peraturan apapun tentang pers sebagai tindak lanjut UU Pers, bukan pemerintah melalui PP apalagi Presiden melalui Perpres yang merupakan 2 (dua) instrumen peraturan perundang undangan sebagai pelaksanaan sebuah Undang Undang.
Bahkan fakta yang lebih mencengangkan, Peraturan Dewan Pers itupun tidak pernah diundangkan sehingga tidak ada satupun Peraturan Dewan Pers yang diundangkan dan tercatat dalam Lembaran Negara sampai saat ini.
Sebuah tindakan yang sangat keliru dari Dewan Pers yang berakibat buruk bagi keberlakuan sebuah peraturan pelaksanaan dari UU Pers karena tanpa diundangkan sebuah Peraturan Dewan Pers dipandang hanya diketahui internal Dewan Pers saja dan seluruh orang dan badan di luar Dewan Pers dapat mendalilkan tidak tahu adanya peraturan tersebut.
Melihat situasi debat keras saat pertemuan para pihak yang difasilitasi Kemenkominfo beberapa waktu lalu terkait rencana penerbitan Perpres tentang Media Sustainability yang bahkan harus distop sebelum acara dimulai, menunjukan betapa masih sangat kerasnya perbedaan pandangan di kalangan komunitas pers tentang Perpres Media Sustainability ini. Baik dari sudut pandang substansi isi Perpres maupun tentang pilihan instrumen Perpres itu sendiri, kenapa bukan Perpu misalnya.
Jika dipaksakan diterbitkan, tentu sudah pasti pihak pertama yang menjadi sasaran empuk kritik tajam adalah Presiden. Padahal kita semua tahu bahwa Presiden memiliki pandangan demokratis dan menghormati nilai-nilai kebebasan pers.
Beranjak dari fakta-fakta tersebut, penulis lebih merekomendasikan kepada Presiden Bapak Joko Widodo untuk tidak menempuh jalur Peraturan Presiden untuk menjawab dinamika perkembangan pers sebagaimana yang dimuat dalam Rancangan Perpres yang diusulkan Dewan Pers kepada Kemenkominfo untuk diproses penerbitannya.
Hal ini sebagaimana pernah penulis sampaikan secara langsung dalam forum pertemuan antara Dewan Pers, Konstituen Dewan Pers, dan Mensesneg beberapa waktu lalu.
Perpu Pers Lebih Aman Bagi Presiden
Namun demikian bukan berarti negara membiarkan saja persoalan yang dihadapi oleh dunia pers terkait perkembangan dunia pers global karena perkembangan teknologi informasi yang pada beberapa hal memberikan dampak negatif bagi perkembangan pers nasional.
Menurut hemat penulis, kondisi dan tantangan yang dihadapi pers nasional saat ini, baik dari sisi bisnis maupun redaksi, sudah sampai pada level terpenuhinya keadaan genting dan memaksa sebagaimana diamanahkan UUD NRI 1945 tentang penerbitan Perpu.
Hal ini sebagai akibat tidak memadainya lagi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk menjawab dan menanggulangi tantangan pers nasional, terutama dalam menghadapi apa yang disebut predator pers global. Negara harus hadir untuk memberikan jalan keluar yang elegan.
UU Pers ini sudah berumur 24 tahun. Lahir saat awal reformasi, sebelum amandemen UUD 1945, saat telepon seluler masih hanya dimiliki segelintir kalangan elit dan telepon lintas provinsi masih roaming, saat SMS belum dikenal apalagi internet.
Google masih di alam rahim teknologi informasi. Predator pers jangankan dikenal, mendengar sajapun belum saat itu.
Membandingkan kondisi saat itu, tahun 1999 saat UU Pers lahir, dengan saat ini, tahun 2023, akan membawa pada kesimpulan adanya suatu keadaan dimana terjadi situasi keadaan genting dan memaksa sehingga sangat layak jika Presiden menerbitkan Perpu tentang Pers.
Discussion about this post