Oleh: Rusdianto Samawa
“Dampak pelarangan kompresor dan snorkeling, menimbulkan kecurigaan mendalam dan penuh intrik, pemerasan oleh aparat kepada nelayan. Dicari-cari kesalahannya. Terutama, soal SIPI, SIKPI, Pas Besar, Pas Kecil, DPHT, PPH dan PHP-nya hingga soal proses pengurusan pas kecil bagi nelayan yang memiliki kapal rata-rata ukuran 5 GT kebawah yang sangat sulit. Bahkan Syahbandar pun permainkan nelayan dengan segala aturan dan alasan tidak jelas.”
Status Indonesia sebagai negara maritim tampaknya tidak menjamin nelayan hidup dengan makmur. Sebuah riset terbaru, menganalisis data Survey Sosio Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2017 menunjukkan nelayan sebagai salah satu profesi paling miskin di Indonesia. Sebanyak 11,34% orang di sektor perikanan tergolong miskin. Hal ini penyebabnya karena pengurusan izin bagi kapal nelayan kecil dipersulit dengan berbagai alasan dan aturan yang tidak jelas.
Nelayan lobster tangkapan alam, merasakan ini. Akibat, pelarangan kompresor. Aparat cenderung mencari kesalahan. Apabila dalam proses kegiatan penangkapan lobster alam, aparat langsung mendatangi dan mengintrogasi nelayan; “mana pas kecil, mana pas besar, mana surat kapal, mana surat mesin, mana surat ijin berlayar, mana surat ijin penerimaan wilayah dari dinas perikanan diberbagai wilayah.”
Mendengar keluhan nelayan Lobster tangkapan alam Pulau Medang, Pulau Bungin, Pulau Kaung Kabupaten Sumbawa, Nusa Penida Bali, Pulau Sailus Pangkep, Pulau Selayar Sulawesi Selatan, Nelayan Berau Kalimantan dan lainnya. Terkadang, merasa sedih, menangis, dan ingin katakan pada pemerintah dan aparat bahwa kalian menindak, menindas, menzalimi para nelayan-nelayan kecil.
Yang paling meringis mendengar, ketika nelayan tidak mengerti aturan. Lalu mereka memerasnya mulai dari Rp50 juta hingga ratusan juta. Namun, izin tidak kelar-kelar. Sedih rasanya mendengar watak para pemerintah dan aparatnya. Kalau watak bisa dirubah, tetapi ini sudah menjadi watuk (dalam bahasa Jawa).
Penerapan produk hukum bidang perikanan tangkap dalam proses perizinan tersebut, membawa duka nestapa bagi seluruh stakehokders perikanan, terutama nelayan Lobster tangkapan alam. Mestinya, KKP dan Kementerian Perhubungan Dirjen Hubungan Laut, menjelaskan dan memperjelas hubungannya antara nelayan dengan proses perizinan. Dilapangkan itu, terjadi penzaliman dan pemerasan terhadap nelayan. Bahkan ancam mengancam kalau surat kapal tidak legal.
PWI Buka Posko Bantuan Bencana Erupsi Gunung Semeru https://t.co/w76hTKgJN3
— Penasultra.id (@penasultra_id) December 6, 2021
Memang benar, ilegal kalau kapal perikanan tidak ada izin. Namun, pengurusan izin tidak begitu bagus dan bahkan menghabisi modal nelayan itu sendiri. Salah satu contoh kasus pada nelayan Lobster tangkapan alam di Nusa Penida Bali. Mereka sebelum melaut menuju NTT harus ada surat ijin masuk dari Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. NTT. Kalau nelayan Lobster dari Lombok melaut ke Perairan Bali, tidak ada izin sama sekali masuk Bali.
Kalau nelayan Sumbawa melaut hingga NTT melakukan kegiatan penangkapan Lobster alam di NTT tidak ada ijin surat penerimaan. Kalau nelayan Bima tembus melaut ke Perairan NTT kadang dibuat-buat aturan ini itu agar persulit nelayan dan bisa ditangkap sehingga mudah dijadikan pendapatan sehingga berujung pemerasan.
Coba, KKP dalam hal ini pengambil kebijakan umum, kenapa selalu terjadi masalah seperti ini dilapangan. Apakah, lumrah dinas-dinas Kelautan dan Perikanan serta dinas perhubungan permainkan nelayan seperti ini adanya. Mestinya, ada ketegasan untuk memberi perlindungan kepada nelayan kecil.
Perlu diketahui, kapal dibawah 5 GT diperlukan hanya pendataan pada jenis kapal, ukuran, lebar, dan cross ton. Sebenarnya, penting surat Ditjen Kapal Ikan dan Kenelayanan tentang kapal dibawah 5 GT bahwa tidak perlu mengurus izin SIPPI dan SIKPI. Kapal dibawah 5 GT hanya perlu Pas Kecil sebagai izin melaut dan tidak perlu surat penerimaan dari dinas-dinas dimasing-masing Provinsi dalam satu wilayah pengelolaan perikanan (WPP).
Discussion about this post