PENASULTRA.ID, KONAWE KEPULAUAN – Program Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) yang dicanangkan oleh organisasi konservasi internasional, Rare Indonesia bersama Dinas Perikanan telah hadir di Pulau Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) sudah dimulai sejak awal tahun 2019.
Dalam Dokumen Rencana Pengelolaan Akses Area Perikanan (RPAAP) Wawonii tercatat usulan kawasan PAAP mencakup 47 desa yang tersebar di Kecamatan Wawonii Barat, Wawonii Utara dan Wawonii Timur Laut. Terdapat 17.284 jiwa penduduk diusulan kawasan PAAP yang terdiri dari 368 orang nelayan dan 150 rumah tangga perikanan itu.
Sejak disosialisasikan secara masif di Wawonii akhirnya kelompok PAAP terbentuk pada 13 Februari 2019. Kelompok yang menghimpun nelayan kecil dan nelayan tradisional di tiga kecamatan itu pun resmi memiliki akta notaris setahun kemudian tepatnya pada 3 Februari 2020.
Adapun tujuan program PAAP itu sendiri di Wawonii tak lain adalah untuk meningkatkan pendapatan nelayan melalui pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Kemudian meningkatkan peran serta kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat untuk pengelolaan perikanan.

Namun, selama tiga tahun berjalan, pelaksanaan program ini nampaknya belum berdampak signifikan terhadap perekonomian nelayan kecil dan nelayan tradisional.
Sebagaimana diungkapkan Rustam (47), salah seorang nelayan di Desa Langara Tanjung Batu Kecamatan Wawonii Barat. Nelayan yang masuk dalam kelompok nelayan PAAP ini mengatakan, aktivitas dan pendapatannya sebagai nelayan tangkap masih sama sebelum dan sesudah adanya program PAAP.
Rustam bersama sang istrinya, Nanni (43) setiap hari berangkat melaut dari pukul 06.30-11.00 Wita dan memperoleh pendapatan Rp200 hingga Rp500 ribu dari hasil tangkapannya.
Kendati demikian, nelayan yang sehari-hari melaut menggunakan perahu motor 3GT berkapasitas tiga orang dengan konsumsi 5 liter solar ini mengatakan, keberadaan program PAAP setidaknya telah menambah pengetahuan dirinya terkait aturan penangkapan berkelanjutan bagi nelayan kecil.
“Fokus pada dampak ekonomi, sejauh ini masih sama saja dengan sebelum PAAP dibentuk. Karena memang selama tiga tahun ini PAAP masih dalam tahapan sosialisasi,” kata pria yang sudah 17 tahun menjadi nelayan di Wawonii Barat ini, Selasa 30 Agustus 2022 lalu.
Ayah dengan satu orang anak ini mengatakan, kendala yang dihadapi saat ini yaitu masih maraknya aktivitas penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. Hal ini dianggap mengganggu aktivitas penangkapannya sebagai nelayan tradisional yang hanya menggunakan alat tangkap berupa rawai, bubu dan pancing.
“Saya berharap semoga kedepan PAAP mampu dan mempunyai legalitas terkait pengawasan nelayan terutama yang menggunakan bom untuk menangkap ikan agar di amankan kepada pihak yang berwajib. Minimal PAAP bekerja sama dengan pihak-pihak yang berwewenang dengan itu,” ujar Rustam.

Sementara itu, Ketua Kelompok PAAP Wawonii, Muhammad Fahri menjelaskan, saat ini kelompok PAAP Wawonii memiliki 30 orang anggota aktif yang tersebar di tiga kecamatan.
Sejak terbentuk, kelompok ini aktif melakukan sosialisasi serta edukasi kepada nelayan kecil dan tradisional terkait penegakan aturan tentang penangkapan ikan secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Hampir setiap bulan kita sosialisasi baik melalui media sosial, cetak berupa baliho dan spanduk, iklan video pendek serta sosialisasi langsung ke masyarakat dengan mengadakan pertemuan ditiap wilayah,” kata Fahri, Senin 29 Agustus 2022.
“Terakhir kami ada pertemuan di kantor bupati, kami telah membuat dan menandatangani kesepakatan bersama untuk membuat Peraturan Bersama Kepala Desa atau Perberkades bersama seluruh stakeholder, yaitu pemda dalam hal ini dinas perikanan, para kepala desa, babinsa, babinkamtibmas serta para pemangku kebijakan,” Fahri menambahkan.
Ia mengungkapkan, nelayan kecil dan tradisional di Wawonii melakukan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap berupa rawai, bubu serta pancing.
Kegiatan penangkapan umumnya dilakukan oleh laki-laki, sedangkan kegiatan pasca penangkapan lebih dominan dilakukan oleh perempuan, mulai dari mengambil ikan di perahu, menyeleksi dan menjual hasil tangkapan serta mengolah ikan yang tidak habis terjual menjadi ikan asin atau ikan kering.
Rata-rata pendapatan keluarga nelayan tangkap dari aktivitas tersebut, kata Fahri, sebesar Rp200 sampai Rp500 ribu per hari, dan hal itu tidak dipengaruhi oleh keberadaan PAAP.
“Kondisi ekonomi nelayan itu masih sama saja sebelum dan sesudah adanya PAAP, karena memang kita masih pada tahap sosialisasi dan mengedukasi masyarakat nelayan,” ujar Fahri.
Berbagai hambatan yang dihadapi diantaranya, wilayah PAAP di Wawonii mencakup tiga kecamatan sehingga masih sulit diakses secara menyeluruh. Hambatan terbesar adalah kurangnya kesadaran masyarakat nelayan dalam melakukan penangkapan ikan secara berkelanjutan.
“Masih banyak masyarakat nelayan yang melakukan illegal fishing. Kalau kita menyampaikan program ini, ada masyarakat yang menerima dan ada juga yang tidak mau menerima, sebab masyarakat kita disini sudah terbiasa dengan hal-hal yang instan seperti menangkap ikan dengan bom, racun dan cara-cara merusak lainnya,” kata Fahri.

Fahri menyadari, perjuangannya bersama kelompok PAAP untuk memberikan dampak positif terhadap perekonomian nelayan kecil memang tidak semudah membalikan telapak tangan atau hanya sekedar memasak Indomie belaka. Praktis, tidak ribet.
Ia mengakui, hal itu cukup rumit. Olehnya itu, Fahri percaya program ini dalam jangka panjang mampu mengatasi akar permasalahan pengelolaan perikanan, diantaranya penangkapan ikan yang merusak (illegal fishing), persaingan dengan nelayan luar, konflik pemanfaatan sumber daya ikan, pemasaran hasil perikanan, serta lemahnya penegakkan aturan.
Fahri mengungkapkan, saat ini PAAP Wawonii telah menyusun dokumen RPAAP yang yang memuat tujuan dan strategi sebagai pedoman dalam melaksanakan pengelolaan perikanan untuk mencapai tujuan meningkatkan pendapatan nelayan kecil dan tradisional.
Discussion about this post