Oleh: Mariana, S.Sos
Jikalau kita letih dengan kebaikan, maka keletihan akan hilang dan kebaikan kekal. Tapi jikalau kita bersenang-senang dengan dosa, maka sesungguhnya kesenangan itu akan hilang dan dosa itu akan kekal (Umar bin Khattab).
Tidak sedikit seseorang yang berselingkuh berasumsi bahwa itu hanya sebuah kesenangan yang menghibur padahal perilakunya telah menjerat pada aktivitas dosa dengan melakukan pengkhianatan terhadap pasangan sahnya.
Ada ikrar yang telah disepakati, ada janji yang telah di ucapkan, bahkan dalam perhelatan megah yang disaksikan oleh ratusan bahkan hingga ribuan tamu undangan dan diamini oleh masyarakat. Lalu beberapa tahun berlalu timbul perasaan hampa, merasa bosan dengan pasangan hingga berakhir dengan selingkuh.
Disisi lain ada yang merasa kesepian, menganggap pasangannya kurang perhatian kemudian mencari teman untuk curhat sehingga terpuaskan rasa hatinya. Ketika sudah merasa nyaman muncullah ketertarikan dan pada akhirnya perselingkuhan adalah puncaknya.
Hal lainnya disebabkan perubahan fisik pasangan seiring dengan berjalannya waktu, maka ketika melihat yang segar, muda, penampilan oke, wajah menggairahkan, body aduhai segeralah nafsu menyelimuti perasaan, menggugat pemikiran dan mengabaikan logika, maka selingkuh menjadi solusinya.
Maka berpikir dan jujurlah tujuan menikah untuk apa? Sehingga haruskah berakhir dengan perselingkuhan, jika menikah itu menjadikan seseorang terjaga dari maksiat, lalu untuk apa berselingkuh?
Fisik dan Kesepian Apakah Menjadi Faktor Dominan?
Tidak dapat dipungkiri bahwa penampilan fisik memiliki kecenderungan untuk membuat betah atau tidak pasangan. Begitupun perselingkuhan boleh jadi disebabkan oleh ketertarikan pada tubuh indah dan wajah menawan.
Hal paling penting adalah maraknya perselingkuhan bisa jadi karena rapuhnya ikatan pernikahan. Ada yang menikah hanya karena terhasut oleh teman yang telah menikah terlebih dahulu.
Ada juga karena terbawa perasaan dan bucin pada seseorang atau bahkan ada yang menikah karena terpengaruh tontonan dan apa yang dibaca dari romantisme seperti dalam cerita cinta. Bahkan, ada yang menikah karena terpaksa disebabkan telah hamil.
Miris memang pernikahan seperti ini. Tentu tidak akan bertahan lama. Bahteranya pun akan kandas seiring berjalannya waktu. Bahkan karam dan tenggelam diterpa angin dan gelombang kehidupan.
Apalagi tantangan dalam rumah tangga itu tidaklah mudah. Harus ada filter dan kekuatan yang memadai untuk menghalau ujiannya. Sayangnya jika menikah hanya untuk ajang coba-coba pasti akan menghasilkan trial dan error.
Padahal menikah itu bukan hanya sekadar suka, tapi ada komitmen dan tanggung jawab, maka harus paham ilmu dan paham mengamalkannya.
Menikah itu bukan seperti sinetron atau dongeng romantis putri dan pangeran. Menikah itu penuh suka dan duka dan itu tantangan yang harus dihadapi. Ada harga dan pengorbanan yang diperlukan untuk sampai pada indahnya berumah tangga.
Cita-citanya setelah menikah beban akan berkurang. Tentu ini keliru sebab ketika menikah akan semakin banyak aspek yang dipikirkan. Waktu sendiri itu hanya fokus memikirkan keperluan sendiri, tapi setelah menikah maka perhatian itu akan semakin beragam maka harus siap fisik dan mental. Yang tadinya hanya memiliki satu bakat mungkin ketika menikah akan memiliki multi bakat atau multi talenta bahkan multitasking.
Discussion about this post