<strong>Oleh : Teti Ummu Alif</strong> Sidang Majelis Umum ke 24 The World Tourism Organization (UNWTO) yang dilaksanakan pada 30 November sampai dengan 3 Desember 2021 di Madrid telah memutuskan Bali, Indonesia sebagai tuan rumah World Tourism Day 2022 dengan tema Rethinking Tourism (<a href="http://Tempo.co">Tempo.co</a> 4/ Desember 2021). Jika tidak ada aral melintang, World Tourism Day 2022 atau peringatan hari Pariwisata sedunia tersebut akan dilaksanakan pada 27 September 2022 mendatang. Selain itu, Desa Nglanggeran asal Yogyakarta juga menerima penghargaan sebagai salah satu Best Tourism Villages UNWTO bersama dengan 43 desa lainnya dari 32 negara. Desa Nglanggeran diberikan pengakuan atas sumber daya alam dan budayanya serta tindakan dan komitmen inovatif dan transformatif terhadap pengembangan pariwisata yang sejalan dengan SDGs. Jelas Indonesia memiliki kepentingan yang besar untuk memajukan agenda-agenda global pariwisata, khususnya untuk memulihkan pariwisata pasca pandemi Covid-19. Dalam pertemuan ini, Indonesia juga memberikan perhatian terhadap dampak pandemi bagi pekerja pariwisata, utamanya perempuan. Indonesia telah merancang berbagai program untuk mendukung pekerja perempuan di masa pandemi. Pada Sidang Majelis Umum UNWTO, negara-negara sepakat bahwa pariwisata merupakan pilar pembangunan yang menyerap banyak lapangan pekerjaan, inklusif dan berkelanjutan. Untuk itu, ketersediaan vaksin harus terus didorong guna percepatan pemulihan pariwisata dunia pasca pandemi Covid. UNWTO sendiri adalah badan PBB yang memiliki kewenangan dalam mempromosikan pariwisata yang bertanggung jawab, berkelanjutan dan universally accessible. Indonesia telah menjadi anggota UNWTO sejak tahun 1975. Sebagai negara berkembang yang ingin unjuk gigi di kancah internasional, tentu penobatan ini merupakan sesuatu hal yang sangat membanggakan. Hanya saja, pemerintah tidak boleh terlena dalam euforia ini. Sebab, selalu ada kepentingan menguntungkan di balik agenda internasional yang melibatkan Indonesia. Dengan kata lain simbiosis mutualisme mutlak adanya. Ya, sektor pariwisata senantiasa di gadang-gadang berkontribusi positif bagi perekonomian bangsa. Olehnya, sarana dan prasarana pendukungnya digenjot sepanjang waktu. Lalu muncul pertanyaan. Siapakah yang menikmati keuntungan bisnis pariwisata? Benarkah pariwisata mampu memberikan kesejahteraan masyarakat?. <blockquote class="twitter-tweet"> <p dir="ltr" lang="in">Aklamasi, Yusran Akbar Nahkodai Kadin Konawe <a href="https://t.co/sdHfpnKrOb">https://t.co/sdHfpnKrOb</a></p> — Penasultra.id (@penasultra_id) <a href="https://twitter.com/penasultra_id/status/1472935762689679361?ref_src=twsrc%5Etfw">December 20, 2021</a></blockquote> <script async src="https://platform.twitter.com/widgets.js" charset="utf-8"></script> Faktanya, sejauh ini belum ada bukti nyata yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Bahkan, UNWTO sekalipun tidak mampu memberikan bukti bahwa destinasi pariwisata bisa mengentaskan kemiskinan masyarakat di daerah wisata. Justru sebaliknya, yang sejahtera adalah Sang empunya destinasi. Tak lain dan tak bukan adalah para kapitalis berkocek tebal. Dalam paradigma ekonomi kapitalis neoliberal memandang bahwa pariwisata merupakan peluang bisnis yang menggiurkan. Sehingga pemerintah mati-matian menggenjot remahan sektor pariwisata dan membiarkan kekayaan alam tereksploitasi atas nama liberalisasi pasar. Dengan demikian, kita mesti mewaspadai kemungkinan di balik penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah hari pariwisata dunia walaupun masih setahun lagi. Pertama, jebakan utang dan investasi. Sebagai tuan rumah, Indonesia tentu akan memperkenalkan berbagai destinasi wisata yang telah atau sedang berjalan. Saat itulah kesempatan berharga bagi Indonesia berpromosi kepada negara-negara dunia dengan tawaran kerja sama investasi di bidang pariwisata. Sebab, investasi identik dengan utang. Kedua, masuknya pemikiran dan budaya liberal. Pariwisata adalah cara paling efektif untuk mewarnai kehidupan masyarakat tujuan destinasi dengan pemikiran asing dan budaya dari luar. Kontak dan interaksi antara penduduk lokal dan turis asing menyebabkan perubahan sosial yang memengaruhi nilai-nilai yang dipegang masyarakat. Ketiga, eksploitasi kawasan penduduk. Untuk mengembangkan suatu wilayah menjadi destinasi wisata, maka pasti butuh pemodal, siapa mereka? Tidak mungkin penduduk lokal, pemerintah pasti menggaet swasta atau investor. Alih fungsi lahan milik warga biasanya dilakukan demi perluasan wilayah destinasi. Sementara warga setempat yang tergusur cukup diberi kompensasi yang cukup. Pada akhirnya, penduduk setempat cukup berpuas dengan menjadi buruh atau pekerja destinasi tersebut. Keuntungannya tetap mengalir pada pemilik modal. Kapitalisme sungguh jauh berbeda dengan prinsip sistem Islam. Dalam Negara Islam pariwisata bukanlah sumber devisa negara. Sumber pemasukan negara berasal dari pos lain, seperti fai, kharaj, ganimah, jizyah, harta kepemilikan umum, zakat, dan sedekah. Adapun, objek wisata bertujuan sebagai sarana dakwah dan propaganda serta bisa berupa keindahan alam dan peninggalan bersejarah. Objek wisata ini bisa negara pertahankan sebagai sarana memahamkan Islam kepada wisatawan. Disamping itu, objek wisata juga bisa digunakan untuk mengukuhkan keimanan dan keyakinan mereka kepada Allah, Islam, serta peradabannya. Siapa pun yang melihat akan takjub dan yakin dengan keagungan Islam. Bukan sebagai ladang bisnis yang menguntungkan. Wallahu a'lam bisshowwab.<strong>(***)</strong> <strong>Penulis merupakan Pegiat Literasi Kota Kendari</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/l-vb2SSbAv0
Discussion about this post