Akan tetapi bila rakyat sebagai pemilih menentukan pilihannya terhadap calon pemimpin atas dasar emosional karena kepentingan sesaat akibat provokasi dan proses jual beli suara sebagai bentuk politik atau demokrasi transaksional, maka dapat diidentikan sebagai ‘kemaksiatan demokrasi’.
Rakyat sebagai pemilih yang demikian diibaratkan ‘pelacur politik’ dan politisi yang mengandalkan uang atau isi tas dapat diidentikan sebagai ‘politisi hidung belang’ yang lebih cenderung menjadi ‘penikmat’ dan rakyat hanya dijadikan objek retorika.
Meski terus berulang, mereka juga tetap menerimanya sebagai sebuah tradisi kebiasaan. Seakan tak peduli bahwa mereka menggadaikan suaranya untuk lima tahun ke depan dengan sejumlah uang, sepaket sembako dan bantuan instan lainnya.
Masa depan mereka gantungkan setinggi langit pada para calon pemimpin tanpa memahami kriteria hakiki pemimpin.
Saat pemimpin ingkar janji mereka melancarkan protes keras, tanpa merenungi proses yang sudah mereka lakukan sebelumnya. Jadi siapa sesungguhnya yang patut disalahkan? Semua salah. Ya pemimpin ya rakyat.
Discussion about this post