“Nah unsur-unsur wawasan keagamaan yang seperti ini harus di-rekontekstualisasi (revitalisasi) supaya agama-agama bisa bergerak bersama-sama ke arah koeksistensi damai yang lebih jujur, tulus dan lebih asli. Berakar pada nilai-nilai ajaran agama itu sendiri,” kata Yahya.
Para pemuka agama itu, kata Yahya, mengakui agama perlu melakukan sesuatu secara bersama-sama untuk mengembalikan kredibilitas agama sebagai sumber moralitas. Caranya dengan menggalang para pemimpin atau otoritas agama di lingkungan masing-masing untuk meninjau kembali terhadap unsur-unsur wawasan keagamaan tersebut.
Dialog Antaragama
Sementara itu Direktur The Wahid Institute, Yenny Wahid, menekankan perlunya penguatan dialog antaragama di negara-negara ASEAN agar bisa saling melindungi, terutama terhadap kelompok minoritas di negara masing-masing.
“Muslim di Indonesia bisa berkomunikasi dengan muslim Rohingya di Myanmar, misalnya, dan kita bisa meminta kepada Pemerintah Myanmar agar bisa lebih meminta kepada pemerintah Myanmar agar lebih memperhatikan kepentingan masyarakat minoritas muslim di sana. Demikian juga sebaliknya, kita juga harus memberikan perlindungan kepada masyarakat minoritas di Indonesia, misalnya Buddha,” kata Yenny.
Ia berpendapat Indonesia bisa memainkan peran yang besar dalam mendesak negara-negara di ASEAN untuk lebih membuat mekanisme untuk melindungi kaum minoritasnya. Dan untuk Itu Indonesia harus dapat menjadi contoh.
Yenny menuturkan, kawasan ASEAN adalah permadani dengan beragam keyakinan dan praktik keagamaan. Hal tersebut bisa dilihat dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, seperti Thailand dan Myanmar, negara-negara mayoritas Islam seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei, dan negara-negara Kristen seperti Filipina.
Hampir semua negara ASEAN, ujar Yenny, memiliki populasi minoritas yang signifikan seperti Sikhm Yahudi, Baha’i dan tradisi-tradisi agama lokal.
Sumber: voaindonesia
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post