Tapi tetap saja mereka ngotot bahwa mereka perlu hidup dan Dewan Pers tidak usah ikut campur terkait urusan permintaan THR karena itu hak mereka.
Dalam hati saya bertanya, siapa orang ini. Apakah mereka benar-benar wartawan atau sekadar begundal yang menjadikan wartawan sebagai pekerjaan untuk hidup? Yang tidak menyadari bahwa profesinya memiliki etika yang sudah jelas mengatur landasan moral dalam bertugas?
Inilah tantangan terbesar bagi masyarakat pers hari ini. Masih sangat banyak wartawan yang tidak memiliki pemahaman –apalagi menerapkan– tentang kode etik jurnalistik, karena asal rekrut dan tidak menjalani pendidikan. Bagaimana mengharapkan karya jurnalistik bermutu dari mereka, sedangkan hal yang sangat elementer bagi profesinya saja mereka tidak tahu?
***
Sepanjang Maret dan April, saya mengikuti Focus Group Discussion (FGD) di sejumlah provinsi untuk melengkapi hasil wawancara dengan Informan Ahli (IA) dalam rangka Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP).
Temuan di beberapa provinsi menunjukkan akibat dari pandemi yang berkelanjutan –yang membuat banyak media mati atau penurunan pendapatan- terjadi penurunan skor pada indikator Tata Kelola Perusahaan yang Baik dan Etika Pers.
Ada pengakuan dari perusahaan pers bahwa mereka terpaksa mengurangi gaji karyawan dan wartawan, ada yang pembayaran ditunda, atau bahkan ada yang melakukan PHK akibat dari kondisi keuangan yang dialami.
Tentu agar perusahaan dapat bertahan dan jika dapat bangkit, kelak akan melunasi kekurangan pembayaran. Ada pula pengakuan dari pengurus organisasi wartawan bahwa di lapangan masalah kesejahteraan ini menjadi topik pembicaraan karena melanda sebagian besar kolega mereka.
Akibat langsung dari kondisi ini adalah penurunan kesejahteraan wartawan, uang yang dibawa pulang berkurang. Yang diberhentikan banyak yang coba-coba bikin media baru, yang tidak mudah karena berjuang dari bawah.
Dalam kondisi tidak pasti itu, godaan amplop dalam berbagai wujudnya, kian kencang, karena berbagai kebutuhan tetap ada. Tidak semua tabah, tidak semua bisa bekerja lurus dan menjaga martabat profesinya.
Memang ada program bantuan berupa fellowship dari Satgas Covid, belakangan Kementerian Kominfo, yakni bantuan bagi wartawan yang menulis pemberitaan tentang Covid-19 dan topik lain dan sebagai imbalan mereka diberi beberapa juta rupiah perbulan. Tapi jumlahnya hanya ribuan sementara di Indonesia ini jumlah wartawan diperkirakan ada 100.000-an.
Keuangan perusaahan pers yang terpuruk dan wartawan yang kehilangan atau mengalami penurunan pendapatan menjadi hambatan nyata untuk menjaga kemerdekaan pers di hampir seluruh provinsi di Tanah Air.
Dari temuan sementara survei IKP di sejumlah daerah, skor pelanggaran etika menurun, skor akurat dan berimbang merosot, nilai tata kelola perusahaan yang baik juga ikut melandai. Begitu pun independensi dari kelompok kepentingan kuat.
Discussion about this post