Apalagi, kajian akademik atas kebijakan tersebut, bisa dikatakan disclaimers. Pasalnya, kebijakan terbit terlebih dahulu, kemudian disusul kajian akademik. Mesti sebaliknya. Kalau kajian akademik berdasar pada sejarah dan pengalaman, bisa jadi ekspor pasir laut dibatalkan.
Faktanya, Menteri KKP sendiri, serasa bingung sendiri. Terlihat dalam sidang RDP Komisi IV yang pertegas kebingungannya dalam menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan anggota DPR Komisi IV.
Menurut Ahmad Nurhidayat pada laman media geloranews (16/06/2023), logika Menteri KKP tersebut tidak konsisten dengan pembenahan tata kelola lingkungan KKP di Indonesia. Penambangan pasir laut secara ilegal untuk kegiatan reklamasi tidak dapat dijadikan alasan izin ekspor pasir laut menggunakan sedimen laut, justru mereka harus ditangkap dan dihukum berat.
Sejurus, langkah Menteri KKP bertemu pengusaha ekspor pasir laut. Semakin tidak konsisten pengunaan potensi sedimentasi. Pasalnya, KKP ungkap di Komisi IV saat RDP untuk pendalaman ALKI pelayaran. Kemana pasir hasil pengerukan dan penghisapan? Jelas satu-satunya alasan KKP yakni ekspor pasir.
Padahal pengelolaan sedimentasi itu, tidak harus ekspor pasir ke negara lain. Mestinya, dilakukan sebaliknya yakni memperkuat infrastruktur reklamasi pulau-pulau kecil (terluar dan terdalam) yang berpenghuni masyarakat Bugis dan Bajo yang selama ini kehidupannya diatas permukaan air laut.
Menteri KKP memaksa perpaduan eksploitasi sebagai sumber ekonomi dengan penetapan lingkungan yang hiegienis. Perpaduan ini, bukan sesuatu yang bermanfaat bagi masa depan kelautan perikanan.
Perkawinan eksploitasi dan lingkungan bersifat disclaimer. Tak ada keuntungan apapun bagi kesejahteraan rakyat dimasa depan. Kerusakan lingkungan perairan laut sudah berjalan lama, ditambah penghisapan oleh mesin-mesin penyedot pasir yang meruntuhkan peradaban kehidupan biota laut.
Discussion about this post