<strong>Oleh: Rusdianto Samawa</strong> Kebijakan melegalkan penambangan dan ekspor pasir laut, berdampak besar kerusakan biota laut. Membatasi terisinya periuk para nelayan yang hidup di sejumlah pulau-pulau kecil dan menghentikan dapur rumah tangga nelayan serta masyarakat pesisir harus ketatkan sabuk pinggang untuk menghadapi kemungkinan terburuk dimasa depan. Atas penerbitan kebijakan sedimentasi yang membungkus ekspor pasir laut. Publik penuh tanya. Ada apa diakhir periode pemerintah keluarkan kebijakan tersebut. Quo Vadis Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan sedimentasi dan ekspor pasir laut. Betulkah? PP 26 tahun 2023 memelihara terumbu karang, ikan, pendalaman alur laut. Betulkah? Mesin-mesin penghisap pasir dalam jarak 1-5 km tidak mengetarkan terumbu karang dan mengusir sumberdaya hayati dari domisilinya dan merontokkan rumah-rumah ikan atas seluruh ekosistem kehidupan diperairan dasar laut. Betulkah? tidak mengusir dan mengasingkan ikan, lobster, kepiting, rajungan, tuna, dan menggeser pendapatan nelayan pada titik rendah?. Betulkah? memberikan pendapatan pada negara, emang selama ini berapa PNBP nya?. Betulkah PP 26 tahun 2023 untuk pemenangan Pilpres calon tertentu dan menarik investor ke IKN untuk menunjang kekuatan politik uang, masuk ke dalam siklus elit dan investasi Pilpres 2024? Penuh pertanyaan? Belum ada yang bisa menjawab itu. Pertanyaan tersebut, muncul dari nurani dan benak masyarakat pesisir. Diakhir masa jabatan Presiden, membuat kebijakan tidak populis dan berpotensi merugikan negara dimasa depan. Ini bisa jadi cara Tuhan membuka tabir legacy pemerintah dimasa-masa mendatang. Berbagai tokoh masyarakat, organisasi lingkungan dan nelayan, ramai-ramai menolak dan meminta peninjauan kembali kebijakan tersebut. Tentu beralasan, atas pengalaman empirik bahwa pengerukan dan penghisapan pasir laut membawa kerusakan yang nyata. Apalagi, kajian akademik atas kebijakan tersebut, bisa dikatakan disclaimers. Pasalnya, kebijakan terbit terlebih dahulu, kemudian disusul kajian akademik. Mesti sebaliknya. Kalau kajian akademik berdasar pada sejarah dan pengalaman, bisa jadi ekspor pasir laut dibatalkan. Faktanya, Menteri KKP sendiri, serasa bingung sendiri. Terlihat dalam sidang RDP Komisi IV yang pertegas kebingungannya dalam menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan anggota DPR Komisi IV. Menurut Ahmad Nurhidayat pada laman media geloranews (16/06/2023), logika Menteri KKP tersebut tidak konsisten dengan pembenahan tata kelola lingkungan KKP di Indonesia. Penambangan pasir laut secara ilegal untuk kegiatan reklamasi tidak dapat dijadikan alasan izin ekspor pasir laut menggunakan sedimen laut, justru mereka harus ditangkap dan dihukum berat. Sejurus, langkah Menteri KKP bertemu pengusaha ekspor pasir laut. Semakin tidak konsisten pengunaan potensi sedimentasi. Pasalnya, KKP ungkap di Komisi IV saat RDP untuk pendalaman ALKI pelayaran. Kemana pasir hasil pengerukan dan penghisapan? Jelas satu-satunya alasan KKP yakni ekspor pasir. Padahal pengelolaan sedimentasi itu, tidak harus ekspor pasir ke negara lain. Mestinya, dilakukan sebaliknya yakni memperkuat infrastruktur reklamasi pulau-pulau kecil (terluar dan terdalam) yang berpenghuni masyarakat Bugis dan Bajo yang selama ini kehidupannya diatas permukaan air laut. Menteri KKP memaksa perpaduan eksploitasi sebagai sumber ekonomi dengan penetapan lingkungan yang hiegienis. Perpaduan ini, bukan sesuatu yang bermanfaat bagi masa depan kelautan perikanan. Perkawinan eksploitasi dan lingkungan bersifat disclaimer. Tak ada keuntungan apapun bagi kesejahteraan rakyat dimasa depan. Kerusakan lingkungan perairan laut sudah berjalan lama, ditambah penghisapan oleh mesin-mesin penyedot pasir yang meruntuhkan peradaban kehidupan biota laut. Apalagi Menteri KKP dalam sidang RDP Komisi IV mengungkap rencana penyedotan, penghisapan dan ekspor pasir laut tersebut, sebanyak 24 miliar meter kubik. Wow, sesuatu yang sangat fantastis. Tak terbayangkan. Apakah sepanjang ALKI dan pesisir pantai dengan jumlah kubikasi 24 miliar itu bisa jamin tidak merusak ekosistem laut?. Jelas merusak. PP 26 tahun 2023 menciptakan konflik dan kejahatan terhadap negara. Karena dampaknya dimasa depan bisa lenyapkan pulau-pulau kecil, rusaknya biota bawah laut dan pasti terjadi perubahan ekosistem pesisir. Oh, negeri maritim yang melimpah. Akankah negeri ini bertahan ditengah kacau balaunya kerakusan. Oh, negeri poros maritim dunia, katanya. Ditengah demografi bertambah, ikan impor, garam impor, rumput laut impor, pasir laut mau diekspor. Nanti apalagi yang mau dijual. Demografi generasi Y dan Z tidak akan lagi rasakan lezatnya ikan, lobster, kepiting, rajungan, udang, cumi, layur, dan lainnya. Generasi Y dan Z ada kurun waktu 10-30 tahun kedepan akan makan dan mengunyah debu-debu pasir yang meracuni semua sumberdaya kelautan perikanan. Padahal, sedimentasi terjadi adalah pendangkalan di pesisir pantai. Bukan ditengah laut dalam. Laut di tengah tak kenal sedimentasi, tak butuh dikeruk. Laut sudah alami. Karena atas nama kerakusan, penjarahan dan penghisapan, ramai-ramai membuat drama, pernyataan menyesatkan dan pembodohan publik. Kajian akademik yang disclaimers pun, tetap dikatakan layak kajian<strong>.(***)</strong> <strong>Penulis: Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI), Menulis dari Pantai Takat Sagele Gugusan Laut Pulau Moyo Sumbawa</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/XxTjYbiE4Zs
Discussion about this post