Oleh: Awaluddin AK., S. HI
Gelaran Pemungutan Suara Ulang atau yang lebih dikenal dengan sebutan PSU cukup mendapat perhatian publik di pesta demokrasi Pemilihan Umum tahun 2019. Di Provinsi Sulawesi Tenggara saja, terdapat 62 TPS yang telah menghelat PSU pada Pemilu Tahun 2019. Termasuk didalamnya sejumlah 6 TPS yang telah menghelat PSU di Kabupaten Konawe Selatan.
Catatan menarik dibalik perhelatan PSU adalah bukan hanya karena PSU serentak yang dihelat dihampir seluruh daerah di Indonesia atau dilaksanakannya atas rekomendasi Pengawas Pemilu. Tetapi juga apa yang melatarbelakangi sehingga menyebabkan dilaksanakannya PSU.
Tentunya sangat terkait dengan satu atau lebih keadaan sebagai peristiwa yang menjadi syarat atau unsur sehingga pemungutan suara di TPS dapat diulang. Sebut saja satu diantaranya adalah adanya pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik atau surat keterangan dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan memberikan suaranya di TPS.
Tidak hanya berakibat pada dilaksanakannya PSU tetapi oleh penegak hukum dalam hal ini Gakkumdu memperoleh kesimpulan bahwa dari keadaan a quo terdapat unsur perbuatan yang juga melanggar ketentuan Pemilu lainnya yakni tindak pidana Pemilu. Didalamnya, terhadap pelakunya dapat diancam atau dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda.
Bahkan telah terdapat putusan pidana penjara dan denda yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) oleh pengadilan. Tujuannya adalah memberikan kepastian hukum ditengah-tengah masyarakat.
Hans Kelsen mengemukakan bahwa hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi. PSU sebagai bagian dari perbaikan administrasi dirasakan belum cukup menjaga dan memperkuat norma hukum yang telah ada. Maka sesungguhnya hukum haruslah diperkuat dengan sanksi.
PSU Pemilu Memilukan
Tanggal 17 April 2019 hari dimana diselenggarakannya pemungutan dan penghitungan suara telah tercatat sebagai sejarah pertama dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Hari itu menentukan secara bersamaan siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI serta Wakil Rakyat di parlemen periode 2019–2024.
Berjalan sesuai dengan tahapan yang telah ditetapkan namun bagi Pengawas Pemilu masih terdapat catatan yang cukup memilukan dalam kaitannya dengan penegakkan hukum Pemilu. Catatan itu tentu sangat menentukan kualitas proses Pemilu khususnya di Konawe Selatan.
Berawal dari adanya seorang lelaki bernama Yusuf dan seorang perempuan bernama Hasna dimana keduanya tidak lain adalah pasangan suami isteri ini tercatat dalam Daftar Hadir Pemilih Tetap TPS 01 dan 02 Desa Waworano Kecamatan Kolono sebagai bukti dan diakui sendiri oleh Yusuf bahwa keduanya telah melakukan pencoblosan di TPS tersebut.
Kemudian belakangan diketahui keduanya tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap dan tercatat Daftar Hadir Pemilih Tetap TPS 01 Desa Watumeeto Kecamatan Lainea serta berkesesuaian dengan data KTP-el keduanya sehingga keduanya dinyatakan hanya berhak memilih di TPS 01 Desa Watumeeto Kecamatan Lainea.
Hal ini berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) PKPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilu menyebutkan bahwa “Pemilih sebagaimana dimaksud pada pasal 4 didaftar 1 (satu) kali oleh KPU dalam Daftar Pemilih” yang selanjutnya pada ayat (2) menyebutkan bahwa “Apabila Pemilih terdaftar lebih dari 1 (satu) tempat tinggal, Pemilih dimaksud didaftar sesuai dengan alamat yang tercantum dalam KTP-el atau Surat Keterangan”.
Lebih lanjut diatur pada pasal 65 ayat (2) huruf d PKPU nomor 9 tahun 2019 tentang Perubahan Atas PKPU nomor 3 tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu bahwa “Pemungutan Suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS terbukti terdapat keadaan Pemilih yang tidak memiliki KTP-el atau Suket, dan tidak terdaftar di DPT dan DPTb memberikan suara di TPS”.
Discussion about this post