Sadar Hukum Pemilu
Pemilu berada dalam kepastian hukum (legal certainty) adalah tujuan dari penegakkan hukum Pemilu. Peristiwa yang menjadi penyebab dilaksanakannya PSU juga terdapat pengaturan ketentuannya terkait sanksi pidananya pada bagian akhir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 maupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Bukan berarti dengan telah dilaksanakannya PSU sebagai akibat dari adanya perbuatan yang melanggar administratif Pemilu dan pemilihan maka dianggap telah selesai atau tidak ada lagi tindaklanjuti sebagai bentuk pelanggaran Pemilu lainnya. Ataukah kemudian pelaku penyebab PSU tidak mengetahui bahwa perbuatannya telah melanggar hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Pemilu sehingga dapat dibebaskan dari jeratan sanksi pidana.
Iedereen Wordt Geacht De Wet Te Kennen adalah adagium dimana semua orang dianggap tahu hukum. Dalam bahasa latinnya juga dikenal “Ignorantia Juris Non Excusat” bahwa yang berarti ketidaktahuan hukum tidak dapat dimaafkan dan juga dikenal pula postulat “Presumption Iures Et De Iurie” artinya persangkaan yang secara hukum dapat dibenarkan. Fictie hukum ini diakui dan terlihat penerapannya dalam hukum Indonesia.
Terlepas dengan belum tersentuhnya terkait pemberitahuan atau penyuluhan atau sosialisasi hukum, seorang pelaku pada suatu peristiwa hukum yang telah terjadi tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan dalih atau alasan bahwa belum mengetahui hukum atau peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu.
Langkah Primum Remedium menjadi opsi pamungkas dalam menghadirkan kepastian hukum Pemilu/pemilihan. Apalagi terhadap peristiwa yang sangat berpotensi terulang kembali dan dinamikanya yang syarat kepentingan politik. Pidana penjara diharapkan dapat memberikan efek jera dan menghadirkan rasa takut kepada pelaku yang pernah melakukan pelanggaran hukum Pemilu.
Terlebih lagi hukuman yang diterima pasti menyebabkan kerugian bagi individu. Lebih dari itu diharapkan juga dapat memberikan rasa takut bagi siapa saja yang ingin melakukan pelanggaran hukum Pemilu/pemilihan. Perasaan takut ini diyakini dapat menekan angka pelanggaran Pemilu/pemilihan.
Pada aspek lain, sanksi pidana penjara juga merupakan bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat yang dapat menumbuhkan kesadaran kepada setiap orang bahwa melanggar hukum dapat mencederai cita-cita penegakkan keadilan Pemilu.
Riwayat penegakkan hukum pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018 dan Pemilu Tahun 2019 diatas kiranya cukuplah bagi segenap elemen bangsa ini agar senantiasa memahami akan pentingnya melek hukum Pemilu. Alhasil, Pemilu dan pemilihan yang jujur dan adil bukan hanya sebatas harapan yang selalu digaung-gaungkan tetapi berwujud menjadi sebuah kenyataan yang dirasakan kehadirannya ditengah-tengah masyarakat.
Dengan guidance yang masih sama berlaku pada Pemilihan Umum Tahun 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018 bukan tidak mungkin hal yang sama bisa jadi akan terulang kembali serta dapat menimpa siapa saja di Pemilihan Umum Tahun 2024 dan Pilkada Serentak Nasional Tahun 2024 di Konawe Selatan.
Terlebih lagi dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah sama-sama sangat rentan atau dekat dengan persinggungan conflict of interest yang dapat membuat setiap orang menjadi apatis terhadap hukum Pemilu/pemilihan atau bahkan menumbuhkan rasa fanatisme yang berlebihan. Wallahu A’lam.(***)
Penulis adalah anggota/Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran & Penyelesaian Sengketa Bawaslu Konawe Selatan
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post